Rabu, 08 Februari 2012

Harga Properti di Batam Melonjak

BATAM – Harga properti di Batam diprediksi naik hingga 15 persen pada tahun 2012 ini seiring meningkatnya biaya produksi sebagai dampak dari melonjaknya harga material dan ongkos pekerja.

Ketua DPD REI (Real Estate Indonesia) Khusus Batam Djaja Roeslim mengatakan, kenaikan harga properti khususnya perumahan di Batam tidak bisa dihindari seiring meningkatnya biaya produksi yang ditandai dengan kenaikan harga sejumlah material seperti pasir, batu bata, besi dan baja serta keinaikan ongkos pekerja. Selain itu, dampak pembatasan BBM bersubsidi juga akan meningkatkan harga properti karena akan menggerakan harga material.

“Peningkatan harga properti tahun ini akan menghambat pemenuhan target pembangunan perumahan 15.000 unit karena kemampuan masyarakat untuk membeli menurun,” katanya, Selasa (31/1).

Ditambahkan, pemerintah daerah harus melakukan intervensi untuk menstabilkan harga perumahan sebab hampir tiap tahun harganya meningkat. Langkah yang bisa dilakukan pemerintah daerah dengan mengontrol harga material, sebab setiap tahun harga material meningkat 5-10 persen dan tahun ini diprediksi lebih tinggi lagi yakni 20-25 persen. Contohnya harga besi sudah mencapai 1.100 dollar Singapura per ton padahal sebelumnya kurang dari 1000 dollar singapura per ton. Harga pasir 300 ribu rupiah per kubik, kemudian biaya transportasi, harga baja ringan, atap, cat, semen dan lainnya juga mengalami kenaikan rata rata 15 persen.

Menurut Djaja, peningkatan harga perumahan yang cukup tinggi pada tahun ini akan mengurangi penjualan sebab masyarakat akan menunda untuk membeli rumah. Oleh karenanya, pengusaha atau pengembang akan menunda sejumlah proyek sehingga target pemenuhan 15 ribu unit perumahan tahun ini akan sulit dicapai.

Selain terkendala dengan tingginya harga jual, pembangunan properti di Batam juga masih terkendala dengan status lahan karena masih banyak lahan yang sudah dialokasikan pemerintah ternyata berstatus hutan lindung. Persoalan lainnya adalah fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang hingga kini belum jalan, dan pemberlakuan UU no 1 tahun 2011 yang mewajibkan pengembang membangun rumah minimal tipe 36. Padahal, masih banyak masyarakat yang membutuhkan rumah dengan tipe dibawah 36 karena harganya lebih murah dan sesuai dengan pendapatannya.

"Permasalahan hutan lindung sudah sejak lama kita sampaikan ke pemerintah namun hingga saat ini belum ada solusi,” kata Djaja.

Sementara itu, Wakil Ketua Kadin Kepri Bidang Properti Mulia Pamadi mengatakan, persoalan properti di Batam cukup komplek yang diawali dari tidak adanya kepastian hokum yang menyebabkan pembeli dan pengusaha ragu untuk berinvestasi.

"Permasalahan utama pembangunan properti di Batam adalah kepastian hukum. Pemerintah daerah harus memperhatikan ini,” katanya.

Itu cukup beralasan sebab kontribusi sector property terhadap pendapatan daerah cukup tinggi yakni 300 miliar rupiah setiap tahunnya yang diperoleh dari pengurusan BPHTB. Oleh karenanya, jika pertumbuhan properti negatif maka pendapatan pemerintah dari sektor bisnis ini akan berkurang. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar