09 januari 2012 : Pemerintah menerbitkan PP no 10 tahun 2012 menggantikan PP no 02 tahun 2009
01 April 2009 : Pemerintah pusat akhirnya meresmikan pendirian kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas atau free trade zone Batam, Bintan dan Karimun. Bersamaan dengan itu diterbitkan tiga peraturan menteri keuangan (PMK) yakni PMK Nomor 45/PMK.03/2009, PMK Nomor 46/PMK.04/2009, PMK Nomor 47/PMK.04/2009.
16 Januari 2009 : Pemerintah mengeluarkan PP no 02 tahun 2009 tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
17 Mei 2008 : Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Boediono menyerahkan tiga Keppres dan satu Peraturan Presiden (Perpres) ke Gubernur Kepri Ismeth Abdullah. Keputusan Presiden (Keppres) dimaksud adalah tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (DK FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun.
10 Oktober 2007 : Rapat Paripurna DPR menerima Perppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) menjadi undang undang.
Sumber : Pemprov Kepri
Pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan baru tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui PP nomor 10 tahun 2012 pengganti PP nomor 02 tahun 2009 yang sebelumnya menuai protes pelaku bisnis di kawasan FTZ Batam, Bintan dan Karimun karena dinilai banyak pasal yang memberatkan. Meski dianggap lebih pro investasi, namun beberapa pengusaha di BBK menilai peraturan baru tersebut belum memenuhi keinginan mereka.
Setelah menunggu hampir tiga tahun akhirnya pelaku industri di kawasan FTZ BBK (Batam, Bintan dan Karimun) mestinya bisa bernapas lega setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2012 pada tanggal 9 Januari sebagai pengganti PP nomor 02 tahun 2009 tentang perlakuan kepabeanan, perpajakan dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. PP tersebut akan berlaku efektif 60 hari setelah ditandatangani, namun baru satu hari dilakukan sosialisasi sudah menimbulkan pro kontra, bahkan ada beberapa pengusaha yang berniat melakukan judicial review atas PP tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan semangat UU FTZ.
Ketua Dewan Kawasan yang juga Gubernur Kepri HM. Sani merasa kecewa melihat tingkah para pengusaha yang belum puas dengan aturan baru tersebut. Pasalnya, sebelum aturan itu ditandangani Presiden, pemerintah telah memberi waktu kepada pengusaha untuk menyampaikan masukan namun pada saat itu para pangusaha adem ayem saja. Namun ketika disahkan, banyak pengusaha yang berteriak dan protes.
"Kalau memang PP nomor 10 tahun 2012 ini tidak mau diterima, terserah para pengusaha saja. Mau ditolak atau bagaimana caranya terserah. Yang jelas ini sudah ditandatangani, dan akan berlaku 9 Maret mendatang," kata Gubernur Kepri, H.M Sani saat melakukan sosialisasi PP nomor 10 tahun 2012 kepada pengusaha, Rabu (1/2).
Dijelaskan, revisi Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan melalui proses yang cukup panjang dan membutuhkan waktu hampir tiga tahun untuk memperjuangkannya. PP nomor 10 tahun 2012 memang tidak akan sempurna oleh karenanya seiring dengan perkembangan zaman pasti akan mengalami perubahan.
“Kita sudah dikasih sejengkal inginnya lebih, karena selalu kurang. Mestinya yang ada saat ini harus disyukuri,” kata Sani. Padahal hasil dari revisi aturan tersebut sudah menjawab keinginan pengusaha yakni penghapusan masterlist, selain itu dalam PP yang baru juga banyak kemudahan yang diberikan pemerintah pada pengusaha.
Misalnya dalam pasal 7 di PP nomor 02 tahun 2009 disebutkan “Terhadap barang yang dimasukan dari luar daerah pabean ke kawasan bebas dilakukan pemeriksaaan barang (ayat 1) kemudian, pemeriksaan pabean sebagaimana ayat 1 meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang”.
Sedangkan dalam PP nomor 10 tahun 2012 yang telah direvisi di pasal 6 menyebutkan
“Terhadap barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, Tempat Penimbunan Berikat, atau Kawasan Ekonomi Khusus, dilakukan penelitian dokumen”.
Pasal 6 PP nomor 10 tahun 2012 tersebut sangat jelas memberi kemudahan bagi pengusaha untuk memasukan barang ke kawasan FTZ BBK, karena setiap barang yang masuk ke pelabuhan hanya di cek dokumennya saja, sedangkan kondisi fisik barang tidak diteliti. Dengan demikian, pengusaha bisa lebih cepat melakukan aktivitas bongkar muat di pelabuhan, tanpa takut dilakukan pengecekan secara fisik terhadap kontainernya.
Kondisi yang sama juga berlaku untuk setiap barang yang akan di ekspor atau keluar kawasan pelabuhan FTZ ke kawasan pabean lainnya. Seluruh barang yang akan dikeluarkan hanya di cek dokumennya saja sedangkan fisiknya tidak akan diteliti.
Pengusaha di kawasan FTZ BBK juga masih mendapat kemudahan lain seperti tertulis di Pasal 10 PP no 10 tahun 2012, disebutkan “Barang yang diangkut sarana pengangkut wajib dibongkar di Kawasan Pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean. Izin pembongkaran di tempat lain oleh Kepala Kantor Pabean diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan”.
Di aturan sebelumnya yakni PP no 02 tahun 2009, seluruh barang yang masuk hanya wajib di bongkar di pelabuhan dan bandara resmi yang telah ditunjuk pemerintah. Jika barang dibongkar di luar pelabuhan resmi maka dianggap penyelundupan dan akan dikenai sangsi.
Ketua Dewan Penasihat Apindo Kepri yang juga CEO PT Satnusat Persada Tbk, Abidin mengajak pengusaha untuk menerima dan menjalankan PP no 10 tahun 2012 tersebut terlebih dahulu, kemudian jika dikemudian hari ditemukan kendala atau hambatan bisa dimintakan perbaikan.
“Kalau kita menolak lagi, nanti orang pusat bisa marah dan kita disuruh nunggu lagi bertahun tahun dan pada akhirnya kita juga sebagai pengusaha di BBK yang susah,” kata Abidin.
Bagi pengusaha di BBK yang orientasi industrinya untuk kegiatan ekspor sebenarnya PP no 10 tahun 2012 sudah cukup menghilangkan hambatan ekspornya sebab tidak diperlukan lagi masterlist dan pengecekan fisik barang, sehingga barang yang akan di ekspor dan bahan baku yang di impor bisa lebih cepat di kirim atau di datangkan karena proses di pelabuhan nantinya bisa lebih cepat.
Tapi bagi para pedagang mungkin PP no 10 tahun 2012 itu tidak menguntungkan karena tidak ada perubahan dari aturan sebelumnya. Dalam aturan yang baru masih disebutkan bahwa “Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan”.
Pemerintah juga masih membatasi barang konsumsi yang boleh masuk ke kawasan FTZ BBK. Misalnya, untuk produk telur, ikan lele, sayur mayur, daging dan ayam tidak boleh impor tetapi harus didatangkan dari daerah lain di Indonesia. Harapannya, fasilitas khusus dan mewah yang diberikan kawasan BBK bisa memberi dampak positif terhadap pertumbuhan daerah lain di Indonesia yang tidak mendapat fasilitas tersebut.
Ironisnya, sejumlah pejabat dan pengusaha di kawasan BBK ingin mengambil jalan pintas dan untung besar dengan cara meminta kebebasan impor untuk barang konsumsi.
Direktur Eksekutif Kadin Kepri, Rahman Usman berpendapat kawasan BBK bukanlah daerah pertanian dan seluruh barang konsumsi seperti produk pertanian selalu di datangkan dari luar negeri dan daerah lain di Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah mestinya memberi ijin impor barang konsumsi seperti telur. Ironisnya, menurut data Asosiasi Unggas Indonesia, produksi telur di Indonesia berlimpah sehingga tidak perlu impor.
Yang lebih mengenaskan, Walikota Batam, Ahmad Dahlan tidak mengindahkan himbauan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo beberapa waktu lalu yang sudah melarang impor ikan lele di Batam.
Menurutnya, Batam sejak awal tidak dirancang untuk pengembangan kawasan pertanian sehingga pada waktu lalu Menteri memberikan ijin impor dan hingga saat ini ijin tersebut belum dicabut, jadi impor tetap dilakukan, meskipun sudah ada larangan dari Menteri yang baru tentang larangan impor tersebut.
"Selama ijin impor yang dikeluarkan Fadel Muhammad ketika jadi Menteri Kelautan dan Perikanan belum dicabut, maka impor lele untuk Batam akan tetap dilakukan," kata Ahmad Dahlan.
Selain ikan lele, Ahmad Dahlan juga minta pemerintah memberi kebebasan bagi Batam untuk impor sayur mayur. Menurutnya, peraturan baru Menteri Pertanian yakni Permentan 89-90/2011 kendati dibuat untuk melindungi petani di daerah, namun peraturan itu tidak sejalan dengan pengembangan Batam karena Batam bukan daerah pengembangan pertanian.
“Pertimbangan utama yaitu posisi Batam sebagai kawasan Free Trade Zone. Sehingga seharusnya dibebaskan impor barang,” katanya. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar