Gonta ganti regulasi yang mengatur FTZ BBK dipicu perbedaan paradigma dalam memandang esensi dari FTZ oleh pebisnis di BBK dan Pemerintah pusat. Kondisi itu menciptakan situasi investasi menjadi kurang kondusif sehingga berdampak negatif pada pertumbuhan industri di BBK.
Sri Mulyani sewaktu menjabat Menteri Keuangan RI, pernah berkunjung ke Batam untuk mensosialisasikan PP 02 tahun 2009 yang ketika itu mendapat protes keras dari pebisnis di BBK (Batam, Bintan dan Karimun) karena ketentuan masterlist untuk ekspor dan impor barang akan menambah birokrasi dan biaya. Pengusaha di BBK juga saat itu masih mempertanyakan keseriusan pemerintah pusat mengurus FTZ BBK karena masih banyak aturan yang memberatkan.
Ketika itu, Sri Mulyani menjawab dengan tegas bahwa meskipun BBK berstatus kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas, bukan berarti tidak ada aturan di dalamnya. Aturan yang dibuat pemerintah tentunya lebih longgar dibanding aturan yang ada di daerah lain yang tidak berstatus FTZ. Pada akhirnya, pengusaha dan sejumlah pejabat di BBK seolah kompak minta agar PP no 02 tahun 2009 di revisi dengan menghapuskan masterlist serta pasal lain yang memberatkan pengusaha.
Setelah hampir tiga tahun, Pemerintah akhirnya merespon keinginan stake holder di BBK dengan menerbitkan PP no 10 tahun 2012. Namun, seperti sudah diduga pengusaha dan stake holder di BBK kembali menolak aturan tersebut karena dinilai tidak banyak berubah jika dibanding aturan sebelumnya.
Ketua Apindo Kepri, Cahya mengatakan, PP no 10 tahun 2012 memang belum menyelesaikan persoalan yang melingkupi pelaksanaan FTZ BBK sebab banyak kewenangan yang tidak jelas dan berbenturan dengan perundang undangan lainnya. Contohnya berbenturan dengan Peraturan Menteri Pertanian tentang pembatasan impor sayur dan buah serta kebutuhan pokok masyarakat.
Aturan lainya yang bisa menjebak terkait dengan undang undang perlindungan konsumen khusunya soal penerapan label SNI (Standar Nasional Indonesia). Mestinya, SNI tidak diberlakukan di kawasan FTZ sebab barang impor yang masuk ke BBK diduga sudah sesuai dengan standar internasional sehingga SNI tidak diperlukan lagi.
“Sertifikasi standar suatu produk mestinya dikeluarkan oleh negara pengekspor misalnya, jika barang dating dari singapura maka standar barangnya berdasarkan sertifikasi negara tersebut sehingga tidak perlu lagi SNI,” katanya.
Wakil Gubernur Kepri, Soerya Respatriono mengatakan, pengusaha mestinya tidak melihat pasal per pasal dari PP no 10 tahun 2012 tetapi harus dilihat secara keseluruhan agar tidak menimbulkan salah pengertian.
Selama ini, pengusaha di BBK memandang FTZ sebagai kawasan bebas sehingga aktivitas ekspor dan impor bisa dilakukan secara bebas untuk seluruh barang kecuali barang yang menjadi Negatif list sesuai peraturan pemerintah. Oleh karenanya, pengusaha di BBK berhak untuk mengimpor barang apapun. Namun, bagi pemerintah pusat FTZ bukan berarti bebas sebebas bebasnya, masih ada aturan yang harus di patuhi pengusaha dan FTZ juga harus berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lainnya.
Oleh karena itu, untuk barang konsumsi yang bisa diproduksi di dalam negeri seperti telur, unggas, sayur mayur, ikan lele mestinya tidak di impor karena banyak daerah di Indonesia yang mampu memproduksi bahan kebutuhan pokok tersebut sehingga impor tidak diperlukan. Dengan demikian, status FTZ tidak hanya berdampak positif bagi BBK tetapi juga ikut andil membangun daerah lain. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar