Begitu
strategis dan pentingnya Selat Malaka, selama ini telah di sia siakan Pemerintah
Indonesia. Akibatnya negara ini harus kehilangan potensi pendapatan puluhan
triliun rupiah setiap tahunya dari potensi ekonomi selat yang menjadi jalur pelayaran
tersibuk di dunia yang dilalui lebih dari 90.000 kapal berbagai ukuran setiap
tahunnya dengan muatan kargo dan
minyak dari seluruh dunia.
Meski Indonesia memiliki sebagian besar
atas wilayah Selat Malaka, namun negara ini tidak berdaya menghadapi Singapura
dan Malaysia dalam pemanfaatan potensi ekonomi selat tersebut. Dua negara itu,
khususnya Singapura sejak lama menikmati puluhan triliun rupiah setiap bulanya dari
bisnis pelayaran dan perkapalan di Selat Malaka.
Dari usaha jasa pandu kapal saja,
Singapura disinyalir memperoleh separuh dari omset bisnis itu atau sekitar 30
trilun rupiah setiap tahunnya. Dengan asumsi jumlah kapal yang melalui Selat
Malaka pertahun sebanyak 90 ribu kapal berarti sebulanya 7.500 kapal yang lalu
lalang dan jika jasa pandu kapal 65.000 dollar AS per kapal maka jika ada 90
ribu kapal berarti omset bisnis ini pertahun mencapai 58 triliun rupiah. Bila
Singapura mengelola separuh dari omset tersebut maka pendapatan negeri kota itu
sekitar 30 triliun rupiah per tahun, sisanya dibagi Malaysia dan Indonesia.
Singapura juga menikmati pendapatan
dari biaya lego jangkar dan labuh kapal yang nilainya mencapai puluhan triliun
rupiah setiap bulannya. Negara itu juga menikmati pendapatan dari penjualan air
bersih dan Bahan Bakar Minyak yang nilainya juga mencapai puluhan triliun
rupiah setiap bulannya.
Indonesia yang memiliki sebagian
besar atau sekitar 80 persen wilayah Selat Malaka ironisnya hanya menjadi
penonton dan ironisnya lagi malah menjadi pemasok barang barang yang dijual
Singapura ke atas kapal asing tersebut, contohnya air bersih dan Bahan Bakar
Minyak serta gas.
Salah satu Pejabat di Kementrian
Perhubungan, Capt. Purnama S. Meliala menyadari kalau Indonesia telah
kehilangan potensi pendapatan triliun rupiah setiap bulanya dari potensi
ekonomi Selat Malaka disebabkan ketidakmampuan negara menangkap peluang
tersebut. Dari usaha jasa pandu, Indonesia ketinggalan jauh disbanding Singapura
bahkan negara ini baru menyatakan siap mengelola bisnis jasa pandu kapal pada
tahun 2008 dan ironisnya hingga saat ini jasa pemandu Indonesia yang jumlahnya
hanya puluhan tersebut lebih banyak menganggur karena kapal asing lebih memilih
jasa pemandu dari Singapura dan Malaysia. Pasalnya, pemandu Indonesia belum banyak
yang memiliki sertifikat IMO (International Maritime Organization) sehingga
diragukan keahlianya dalam memandu kapal.
Untuk memaksa kapal kapal asing
tersebut memakai jasa pemandu dalam negeri, Indonesia telah berulang kali membuat
regulasi. Pertama tahun 2007 dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Dirjen
Perhubungan Laut (Hubla) Nomor: PU.63/1/8/DJPL.07 tanggal 28 Desember
2007 tentang Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa di Selat Malaka dan
Selat Singapura. Dalam SK tersebut disebutkan wilayah perairan Selat Malaka dan
Selat Singapura sebagai perairan pandu ditetapkan dengan batas-batas yang
meliputi sebelah utara Tanjung Balai Karimun sampai perairan sebelah utara
Pulau Batam.
Setahun kemudian, Pemerintah juga membuat
Undang Undang Pelayaran nomor 17 tahun 2008 yang di dalam pasal 198 ayat 1
disebutkan bahwa “Pemerintah dapat menetapkan perairan tertentu sebagai
perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Artinya, setiap kapal yang
berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa itu wajib
menggunakan jasa pemanduan”.
Celakanya, aturan tersebut justru dimanfaatkan
untuk kapal yang hanya melintasi perairan dalam negeri yang mengangkut muatan
kargo antar daerah. Sedangkan bagi kapal asing yang lebih banyak lalu lalang di
Selat Malaka yang potensinya justru lebih besar tidak disentuh.
Padahal kapal kapal asing tersebut,
menurut Purnama banyak yang melewati perairan Indonesia yang mestinya sesuai
dengan Undang Undang nomor 17 tahun 2008 harus dipandu oleh pemandu dari
Indonesia.. Kondisi tersebut mengalami pembiaran cukup lama, padahal aksi
pemandu dari negara asing mestinya di hentikan karena Illegal.
Pengamat industri pelayaran dan pelabuhan, Sungkono Ali, menilai hingga saat
ini memang ada kesemrawutan dalam usaha kegiatan pemanduan di Selat Malaka yang
memiliki panjang 245 Mil itu. Padahal sudah jelas, 80 persen wilayah Selat
Malaka merupakan wilayah Indonesia yang seharusnya kewenangan kepanduan
dilakukan Indonesia.
Sungkono Ali
yang juga Ketua Umum Lembaga Kelencaran Arus Barang
Indonesia (Likabindo) menyebut selama ini
tidak kurang dari 90 ribu kapal berbagai ukuran melintas di selat malaka per
tahun atau 7.500 kapal per bulannya tanpa pemanduan dari petugas Indonesia. Akibatnya,
potensi pemanduan kapal di selat itu diambil alih tenaga dan kapal pandu dari
Singapura dan Malaysia secara illegal karena mereka memandu kapal-kapal itu
melewati wilayah perairan Indonesia sehingga potensi pendapatan negara menjadi
hilang.
Senada dengan Sungkono, Anggota DPD RI asal Provinsi
Kepulauan Riau, Djasarmen Purba mengatakan, aksi jasa pemandu dari Singapura
dan Malaysia yang melintasi perairan Indonesia sudah melanggar Kedaulatan
Negara Republik Indonesia di wilayah tersebut. Ironisnya, kondisi tersebut
terus dibiarkan dan sudah berlangsung lama. Padahal, Indonesia sudah memiliki
petugas pemandu untuk lalu lintas laut.
“Sudah saatnya Pemerintah Indonesia bersikap tegas
atas aksi illegal pemandu asing di perairan Indonesia dan negara ini juga harus
sudah siap mengambil alih bisnis jasa pandu kapal tersebut dengan menyiapkan
infrastruktur serta sumber daya manusianya,” kata Djasarmen.
Ketua Kadin Batam yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia, Nada
Faza Soraya mengatakan, harus ada keinginan politik yang kuat dari Pemerintah
Indonesia untuk mengambil alih potensi maritime di Selat Malaka yang selama ini
dinikmati Singapura serta Malaysia. Untuk itu, dibutuhkan perangkat dan
infrastruktur yang cukup. Misalnya, harus disediakan tenaga ahli pemandu kapal
yang professional dan diakui secara internasional dengan adanya sertifikat
keahlian dari IMO. Kemudian pemerintah harus menyerahkan pengelolaan jasa
pemanduan tersebut pada perusahaan yang memiliki pengalaman seperti Pelindo.
Perangkat pendukung juga harus disiapkan seperti operator radio, crew
station, administrasi kantor dan lainnya. Kedua, penyiapan sarana dan perasarana yang meliputi hardware
dan softare. Hardware seperti stasiun dan kapal-kapal pandu dan kelengkapannya
harus baik begitu pula terhadap software seperti pengetahuan hukum nasional dan
internasional, system operasi, system administrasi dan marketing serta tarif.
Sangat penting juga dilakukan marketing dan sosialisasi imternasional melalui
berbagai organisasi internasional seperti IMO, IMPA dan Duta Besar Negera
Tetangga.
Nada Optimistis bisnis jasa pandu kapal ini akan member pemasukan pada
negara cukup besar seiring makin banyaknya kapal kapal asing yang melintasi
selat malaka. Jumlah kapal tersebut hingga saat ini diperkirakan sekitar 10.000
kapal pertahun yang terdiri dari berbagai ukuran. Jika pemerintah bisa
mengelola setengah dari omset bisnis pelayaran dan perkapalan tersebut maka
sudah bisa dipastikan penerimaan negara bisa mencapai 100 triliun rupiah setiap
tahunnya dan dengan demikian negara ini bisa membangun industri maritime yang
kuat. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar