BINTAN – Lebih dari 1.400 hektare hutan bakau atau manrove di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) berubah fungsi menjadi areal pertambangan, perumahan penduduk dan pelabuhan. Akibatnya, ekosistem terganggu dan potensi terjadinya erosi serta abrasi semakin besar.
Kepala Seksi Inventarisasi dan Pemetaan Ruah Dinas Pertanian dan Kehutanan (DPK) Kabupaten Bintan, Ruah Alimaha mengatakan, sekitar 1.400 hektare lahan bakau di wilayah Kabupaten Bintan dibabat tanpa memperdulikan aturan dan saat ini sudah dikuasai warga. Hutan itu telah dijadikan bangunan, rumah, ruko, pelabuhan dan areal pertambangan bauksit.
“Survey yang kami lakukan tahun 2009 menyebutkan dari 12.900 hektar hutan bakau di Bintan yang sudah berubah fungsi dan dikuasai warga sebanyak 1.400 hektare,” katanya, Senin (27/2).
Hutan bakau yang sudah rusak dan dikuasai warga tersebut terletak di daerah Batu Lichin, Mantang dan Teluk Sasah. Ironisnya, sebagian dari bekas hutan bakau tersebut telah bersertifikat dan saat ini sudah menjadi areal pemukiman. Selain itu, banyak juga yang menjadi areal pertambangan bauksit sebab kandungan kadar bauksit di sana cukup tinggi, khususnya di daerah Mantang.
Menurut Ruah, Pemerintah Daerah sudah melarang pembabatan hutan bakau bahkan ada sejumlah warga yang dikenakan sangsi karena kedapatan menebang hutan bakau. Namun, aksi warga membabat hutan bakau terus berlangsung.
Ruah kuatir jika aksi warga terus berlangsung maka keberadaan hutan bakau di Kabupaten Bintan semakin berkurang sehingga dapat memicu bencana ekologis. Hutan bakau atau Mangrove berfungsi menjaga kestabilan garis pantai, melindungi pantai dari erosi dan abrasi, menahan sedimen dan bertindak sebagai kawasan yang melakukan penyanggaan proses intrusi atau rembesan air laut ke darat. Hutan bakau juga berfunsgi sebagai habitat dan sumber makanan bagi sejumlah makhluk hidup.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bintan, Yudha Inangsa mengatakan, rusaknya hutan bakau dan sebagian hutan konservasi di Bintan disebabkan belum jelasnya peta kawasan lindung di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sebab meski Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bintan sudah disahkan bulan Nopember 2011 lalu, namun perda tersebut terutama yang mengatur kawasan lindung masih dibahas di tingkat provinsi.
"Saat ini kawasan lindung masih didiskusikan oleh pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri bersama dengan Kementerian Kehutanan RI, tentang penetapan kawasan hutan lindung. Pihak Pemrpov Kepri juga masih membahas bersama unsur terkait, jadi kita masih menunggu hasilnya," katanya.
Perda tersebut sangat penting untuk memaduserasikan kawasan hutan lindung yang ada di Kabupaten Bintan dengan Kementerian Kehutanan, seperti dimana-mana saja area yang dijadikan kawasan hutan lindung dan lainnya. Dengan demikian, aparat bisa bertindak dengan tegas terhadap kawasan lindung yang nantinya di eksploitasi warga.
Menurutnya, dalam melakukan padu serasi bersama pemprov dan Kemenhut, nantinya akan ada status wilayah menjadi kawasan hutan lindung yang di dalamnya ada hutan produksi, hutan lindung dan hutan konversi. Namun dalam memaduserasikannya, tidak mengurangi atau menghapus suatu kawasan hutan.
Dari data yang dimiliki Pemkab Bintan disebutkan, terdapat 119 ribu hektar luas hutan lindung di Pulau Bintan. Sementara berdasarkan atas ketetapan Menteri Kehutanan yang harus dipenuhi yakni 30 persen atau sekitar 31 ribu hektar. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar