BATAM – Indonesia dinilai punya potensi menjadi produsen utama dunia produk kayu olahan untuk furniture atau Decorative Product seiring melimpahnya bahan baku dan ketersediaan tenaga kerja. Namun, meskipun bahan baku berlimpah pengusaha masih kesulitan mendapat bahan baku dari dalam negeri disebabkan adanya kebijakan soal sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
Direktur PT Green Resources Material (GRM), Teo Pea Ngo mengatakan, Indonesia memiliki potensi menjadi produsen utama produk kayu olahan untuk furniture atau decorative product seiring melimpahnya bahan baku. Namun, ketersediaan bahan baku di dalam negeri tidak membuat pengusaha mudah untuk mendapatkannya seiring banyaknya peraturan seperti sertifikasi produk dan lainnya. Oleh karenanya, banyak perusahaan kayu olahan di dalam negeri masih membeli bahan baku dari luar negeri.
“Selama ini kami mengimpor bahan baku padahal di dalam negeri banyak tersedia. Itu disebabkan repotnya mengurus ijin pembelian karena banyak aturan yang harus dipenuhi terlebih dahulu,” katanya kepada Koran Jakarta, akhir pekan lalu.
Padahal, jika pemerintah memberi kelonggaran pada pengusaha untuk mendapatkan bahan baku maka bisa dipastikan Indonesia dapat menguasai pasar produk kayu olahan dunia. Saat ini saja, produk kayu olahan atau Decorative product Indonesia yang dihasilkan PT GRM sudah menguasai pasar di 17 negara Asia dan Australia.
Menurut Teo, beberapa pasar yang sudah dikuasai produk GRM antara lain Asean, Jepang, Korea, Australia dan China. Jumlah omset yang bisa dihasilkan GRM mencapai 12 juta dollar AS per bulan dan dalam dua atau tiga tahun kedepan ditargetkan omsetnya menjadi 50 juta dollar AS per tahun.
Pesaing produk GRM saat ini adalah produksi dari China karena selain kualitas bagus, China juga memiliki sekitar 50 perusahaan yang menghasilkan produk yang sama dihasilkan dengan GRM sedangkan Malaysia memiliki dua perusahaan dan Thailand tiga perusahaan. Indonesia, kata Teo baru memiliki satu perusahaan yang mampu menghasilkan Decorative Product berkualitas internasional yakni GRM yang berlokasi di Batam.
Produk yang dihasilkan GRM, kata Teo mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain karena memiliki standar internasional, misalnya kekuatan produk bisa bertahan hingga 200 tahun dan tidak mengandung toxid serta ramah terhadap lingkungan karena bahan bakunya diperoleh dari sisa produk kayu olahan. Produk GRM juga telah mendapat sertifikat internasional dari sejumlah negara seperti Singapura sehingga menjadi mudah masuk ke pasar global.
Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Pusat, Ambar Tjahjono mengatakan, industry kayu olahan atau furniture dan permebelan di tanah air sebenarnya bisa tumbuh lebih cepat jika pemerintah serius mau mendukung industry tersebut. Yang terjadi saat ini justru pemerintah memberi tekanan pada pengusaha kayu olahan dengan penerapan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang mulai berlaku Maret 2013. Ketentuan itu dinilai memberatkan pengusaha mebel karena diperkirakan akan memicu kenaikan harga bahan baku kayu hingga 25 persen.
Menurutnya, penerapan SVLK kurang tepat mengingat kondisi pengusaha mebel sedang diterpa berbagai persoalan seperti kondisi ekspor yang masih belum membaik akibat krisis global dan beban Nomor Identitas Kepabeanan (NIK) serta regulasi rotan.
Asmindo kuatir jika SVLK yang diterapkan pemerintah ini ternyata belum diakui secara internasional, maka justru hanya merugikan pengusaha dalam negeri, padahal banyak negara masih memberlakukan sertifikat mereka masing-masing.
Namun, jika pemerintah tetap memaksakan akan memberlakukan ketentuan itu, diharapkan proses sertifikasi tidak dipersulit. Karena mayoritas anggota Asmindo adalah pengusaha skala kecil yang di dalamnya terdapat sekitar empat juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri furnitur. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar