Kota Batam harus mewaspadai masalah pengangguran yang terus meningkat setiap tahun. Hingga awal 2012 saja terdapat sekitar 12 ribu orang yang tidak memiliki pekerjaan dan angka itu diperkirakan naik signifikan pada saat ini seiring berhentinya kegiatan produksi sejumlah perusahaan asing seperti PT Panasonic, PT Pratama Drydock, PT Nan Indah, PT Drydock GTI dan PT Nutune yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja ribuan buruh.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam, Rudi Sakyakirti mengatakan, jumlah pencari kerja di Kota Batam berdasarkan data hingga 31 Desember 2011 sebanyak 25.406 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 10.796 sudah ditempatkan ke beberapa perusahaan dan sekitar 3.000 orang sudah mendapatkan pekerjaan langsung. Sedangkan pencari kerja yang belum ditempatkan sekitar 12 ribu orang yang berpotensi menjadi pengangguran terbuka.
“Jika dibanding tahun sebelumnya, jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan meningkat drastis. Pada tahun 2010, jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan hanya 7.000 orang dan di akhir 2011 melonjak menjadi 12 ribu orang,” katanya.
Jumlah pengangguran tersebut akan naik signifikan seiring berhentinya kegiatan produksi sejumlah perusahaan asing dipicu order yang terus turun, akibatnya ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Beberapa perusahaan yang telah menutup kegiatan produksi dan memberhentikan karyawannya antara lain, PT Panasonic yang memberhentikan 1.200 karyawan, PT Pratama Drydock memberhentikan 575 karyawan dan PT Nan Indah sebanyak 1.050 karyawan serta PT Drydock GTI sebanyak 790 karyawan. Selain itu, beberapa pekan lalu juga telah tutup PT Exas dan menyusul PT Nutune yang akan memberhentikan sekitar 1.000 pekerja. Perusahaan lain yang juga telah menghentikan kegiatan produksinya adalah PT BJ Industries, PT Epson Toyocom, PT Paper Box, PT Kumagaya Precision Motor Batam dan PT Panasonic Battery.
“Tutupnya sejumlah pabrik berpotensi menciptakan ledakan pengangguran sehingga harus diantisipasi oleh berbagai pihak karena bisa memicu permasalahan sosial,” kata Rudi.
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak (Wikipedia). Berdasarkan jam kerja, pengangguran dikelompokkan menjadi tiga macam yakni, Pengangguran Terselubung atau Disguised Unemployment adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu. Setengah Menganggur atau Under Unemployment adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Lalu, Pengangguran Terbuka atau Open Unemployment adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.
Di Kota Batam, sebagian besar pengangguran dikelompokan sebagai pengangguran terselubung atau Disguised Unemployment karena meskipun tidak bekerja secara resmi di perusahaan dengan jam kerja 8-10 jam tetapi banyak yang memanfaatkan waktunya dengan berdagang atau membantu orang lain bekerja.
Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepulauan Riau yang juga Ketua Apindo Batam, OK Simatupang mengatakan, tingginya jumlah pengangguran disebabkan beberapa faktor antara lain, minimnya keterampilan dan pendidikan yang dimiliki para pencari kerja di Batam sehingga tidak tertampung di perusahaan, kemudian disebabkan tutupnya sejumlah perusahaan yang menyebabkan banyaknya pekerja yang di PHK. Faktor lainnya adalah tidak ada perusahaan baru yang membuka pabriknya di Batam selama satu tahun terakhir.
“Selama satu tahun terakhir belum ada satupun PMA yang merealisasikan investasinya di Kota Batam ,” katanya.
Ketua Apindo Kepri, Ir Cahya menambahkan, selama beberapa tahun terakhir, Batam memang menghadapi panceklik investor asing karena belum ada perusahaan baru yang membuka pabriknya. Itu menunjukan bahwa implementasi free trade zone di kawasan Batam belum mampu menggenjot pertumbuhan industry.
“Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dahulu bernama Otorita Batam sering memberikan data pertumbuhan industri yang tinggi, padahal tidak ada investasi baru karena yang ada hanya relokasi dari satu kawasan industry ke kawasan industry lainnya di Batam,” kata Cahya.
Kondisi itu memicu terjadinya ledakan pengangguran karena banyak para pencari kerja dari berbagai daerah di Indonesia yang awalnya berpikir mudah mendapatkan pekerjaan di Batam ternyata sulit memperoleh pekerjaan. Hal ini harus segera diantisipasi karena bisa menimbulkan persoalan baru yakni masalah sosial dan tindakan kriminal.
Salah satu hal yang harus dibenahi pemerintah adalah menghilangkan hambatan investasi guna menciptakan iklim investasi yang kondusif. Selama ini, system birokrasi yang ada di Batam dinilai masih menjadi factor terbesar bagi hambatan investasi karena setiap instansi seperti Dewan Kawasan, Badan Pengusahaan Kawasan, Bea Cukai dan Pemerintah kota Batam belum bersinergi positif, bahkan malah sering kebijakan yang dikeluarkan lembaga tersebut tumpang tindih yang menimbulkan kebingungan bagi investor.
“Industri di Batam masih menanggung ongkos produksi yang cukup tinggi sehingga sulit bersaing,” katanya.
Menurut Cahya, banyak negara di dunia saat ini menjalankan program yang sama dengan Indonesia dalam menarik investor asing yakni dengan membelakukan status FTZ terhadap beberapa daerahnya seperti yang dilakukan Malaysia, China dan Vietnam. Oleh karena itu, persaingan untuk menarik investor global semakin ketat. Jika Indonesia khususnya Batam tidak membenahi birokrasi dan infrastruktur maka daya saingnya akan terus menurun sehingga akan semakin sulit mendapatkan investor baru.
Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Nursyafriadi mengatakan, tingginya angka pengangguran di Batam harus menjadi perhatian serius Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Kawasan agar lebih kreatif dan inovatif menjaring investor asing untuk mau menanamkan modalnya di kota Batam.
“Perkembangan kota Batam dengan status FTZ (free trade zone) tidak sesuai dengan yang diinginkan, bahkan terindikasi tidak bisa bersaing dengan kawasan indutri lainya di negara tetangga. Kondisi itu dipengaruhi oleh pelayanan satu atap yang tidak berjalan maxsimal, kepastian hukum belum jelas dan masih maraknya pungutan liar,” katanya.
Menurut Nursyafriadi, sejak perubahan status Batam sebagai kawasan FTZ tahun 2007 lalu, perkembangan ekonomi tidak secepat yang diharapkan. Industri belum tumbuh secara maksimal dan belum banyak investor asing yang mau menanamkan modalnya di Batam. Untuk itu, perlu adanya reformasi perijinan di Kota Batam agar bisa bersaing dengan kawasan sejenis di negara tetangga.
Jika Pemko Batam dan BP Batam tidak segera membenahi iklim investasi di Batam maka sulit mendatangkan investor baru ke daerah ini sehingga lapangan kerja baru tidak akan tercipta. Dengan demikian angka pengangguran akan terus melesat. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar