TANJUNG PINANG – Hasil penelitian Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB, Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menyebut sekitar 700 bahasa daerah di Indonesia terancam punah pada abad 21 disebabkan berbagai factor antara lain, peperangan, bencana alam, urbanisasi dan perkawinan campur dengan suku lain. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melestarikan bahasa daerah.
Kepala Sub Bidang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kuntoro dalam acara pemantauan dan sosialisasi penggunaan bahasa di ruang publik serta sosialisasi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 di Tanjung Pinang mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan UNESCO tahun ini menyebut bahwa pada abad 21 atau sekitar tahun 2090-an, sekitar 90 persen dari lebih 700 bahasa daerah yang ada di Indonesia terancam punah.
"Pada abad 21 mendatang diperkirakan dari 700 bahasa daerah yang ada di Indonesia hanya tinggal 75 bahasa daerah yang digunakan. Bahasa daerah yang punah kebanyakan bahasa yang berasal dari suku suku kecil yang tinggal di pedalaman. Ini merupakan fakta yang sangat mengkhawatirkan, karena bahasa daerah sendiri adalah kekayaan bangsa kita," kata Kuntoro, Rabu (16/11).
Punahnya bahasa daerah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain terjadi peperangan, bencana alam, urbanisasi dan perkawinan campur dengan suku lain. Selain itu juga disebabkan karena jarang digunakan serta gengsi terhadap penggunaan bahasa nasional dan internasional. Faktor lain adalah seleksi alam ditambah lagi banyaknya bahasa daerah yang tidak memiliki sistem aksara sehingga sulit untuk mempelajarinya. Dari 700 lebih bahasa daerah di Indonesia hanya beberapa bahasa daerah yang memiliki system aksara seperti Jawa, Melayu, Aceh, Lampung, Batak, Bugis, Bali, Sasak dan Sunda.
Untuk melestarikan bahasa daerah perlu dilakukan pemetaan bahasa dan dokumentasi di berbagai daerah-daerah. Selain itu juga penting mengadakan bengkel sastra terhadap budaya daerah, mengumpulkan kosa kata bahasa daerah dan senantiasa melakukan festival bahasa daerah.
Kepala Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia Prof Dr Cece Sobarna MHum mengatakan, keterpinggirkannya bahasa daerah disebabkan karena terjadi pertarungan budaya sebagai dampak dari perkembangan budaya yang tumbuh dengan cepat. Untuk itu dibutuhkan upaya untuk melestarikanya dan salah satu caranya dengan membuka lapangan kerja seluas luasnya bagi sarjana lulusan sastra daerah. Untuk itu diperlukan komitmen positif dari para pemangku kepentingan.
Selama ini, kata dia seseorang yang mahir berbahasa daerah belum tentu mendapat penghasilan layak dikemudian hari, itu berbeda dengan seseorang yang memahami bahasa asing yang memberikan peluang kerja menjanjikan. Kondisi itu menyebabkan tidak banyak yang mau mempelajari bahasa daerah.
"Karakter masyarakat Indonesia saat ini terkadang melihat bahwa nilai yang dari luar itu terlalu positif. Di samping karena pengaruh globalisasi yang menyebabkan tergerusnya pemakaian bahasa daerah sebagai salah satu nilai identitas masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, harus mulai ada keinginan dan komitmen yang positif dari pemerintah selaku pemangku kepentingan untuk membuka lapangan kerja yang relevan bagi lulusan pelestari bahasa daerah. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar