Senin, 05 Desember 2011

Lalu Lintas Devisa Juga Butuh Traffic Control

Sangat disayangkan ternyata sebagian besar pengusaha atau eksportir nasional melakukan transaksi hasil ekspor di bank luar negeri, nilainya ditaksir 290 triliun rupiah setahun, sedangkan tansaksi utang luar negeri swasta diduga 960 triliun rupiah. Transaksi itu sama sekali tidak masuk catatan BI sehingga tidak dapat di kalim sebagai devisa Negara, padahal seluruh faktor produksi yang dijual berasal dari Negara ini. Bank Indonesia mencatat ada sekitar 1.820 perusahaan dan bank di dalam negeri yang memiliki utang luar negeri nilainya ditaksir 96 miliar dollar AS setara dengan 960 triliun rupiah dengan kurs 10 ribu rupiah per dollar AS, proses utang dan pembayaran dilakukan tanpa melibatkan bank devisa nasional. Lalu, ada ratusan eksportir nasional yang melakukan transaksi ekspornya pada bank di luar negeri dan nilainya cukup pantastis yakni 290 triliun rupiah setahun. Kondisi itu menyebabkan, potensi devisa yang mestinya menjadi hak Indonesia berpindah tangan ke Negara lain sehingga BI sering mengalami kekurangan pasokan devisa yang memicu pasar keuangan tidak sehat dan rupiah tidak stabil. Peneliti Ekonomi Madya Senior Biro Kebijakan Moneter BI, Elisabeth Sukowati mengatakan, lalu lintas devisa yang sangat bebas itu butuh pengaturan untuk melindungi kepentingan Negara, dan itu juga yang dilakukan Negara lain agar stabilitas moneternya terjaga. “Kalau saya umpamakan dari kebijakan ini, Indonesia punya lahan lalu digarap kemudian menghasilkan dan hasilnya lalu dijual, Nah.. pada saat dijual uangnya justru diterima orang lain. Untuk itu kebijakan itu dibuat, agar uang hasil penjualan diterima kita sendiri bukan orang lain,” katanya. Untuk itu, BI membuat Peraturan nomor 13/20/PBI/2011 yang memaksa eksportir dan pengusaha yang memiliki utang luar negeri agar melakukan transaksi pada bank devisa di dalam negeri. BI menjamin tidak ada proses kerja baru sehingga pengusaha tidak akan kerepotan melakukan penyesuaian. Menurut Elisabeth, kebijakan yang dikeluarkan BI tersebut merupakan respon atas kondisi ekonomi global yang terjadi saat ini yang membutuhkan assestment yang tepat agar kondisi makro ekonomi nasional tidak terganggu. Krisis keuangan yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat saat ini, kata dia bisa bertambah buruk atau baik tegantung pada kebijakan Negara tersebut. Namun, Indonesia tidak bisa berspekulasi dengan diam dan tidak membuat antisipasi karena jika kondisinya bertambah buruk maka ekonomi nasional akan terkena dampak. Saat ini saja, kata Elisabeth pasar keuangan dan pasar saham sudah terkena dampaknya dengan koreksi yang cukup tajam terhadap nilai tukar rupiah dan Indeks Harga saham gabungan. Oleh karenanya, BI lebih moderat memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2012 yang diperkirakan akan terkena dampak atas krisis keuangan di Eropa dan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi 2012 dipreksi hanya 6,2 sampai 6,7 persen, sedangkan tahun ini sekitar 6,6 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi hanya 4,3 persen pada tahun ini sedangkan tahun 2012 sebesar 4,5 persen di dorong pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Asia dan Timur Tengah. Untuk meminimalisir dampak krisis Eropa dan Amerika tersebut, BI harus cepat melakukan respond an salah satunya mengeluarkan kebijakan soal lalu lintas devisa agar seluruh devisa yang dihasilkan dari Negara ini kembali ke Negara ini bukan ke Negara lain. BI juga melakukan respon terhadap kebijakan suku bunga, nilai tukar dan kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan capital volws dan mengatasi bubble. Namun, untuk menghindari dampak krisis, BI juga butuh penyeimbang dari pemerintah yang memiliki otoritas kebijakan fiscal dengan memberi stimulus dan peningkatan penyerapan anggaran. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar