Selasa, 20 Desember 2011

Pertumbuhan Properti di Batam Terkendala Status Lahan



BATAM – Pertumbuhan industri properti di Batam tahun depan diperkirakan masih berjalan lambat disebabkan sejumlah kendala seperti ketidakjelasan status lahan. Kondisi itu menyebabkan pengembang menahan diri untuk investasi.

Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Realestate Indonesia (REI) Khusus Batam Djaja Roeslim mengatakan, industri properti di Kota Batam berjalan lambat jika pemerintah tidak segera membenahi regulasi khususnya status lahan di Batam yang sebagian masih berstatus hutan lindung. Status hutan lindung perlu dirubah menjadi kawasan komersil karena keterbatasan lahan yang ada di Batam.

Beberapa kawasan yang perlu di ubah statusnya dari hutan lindung menjadi kawasan komersil seperti di Rempang dan Galang, dan sejumlah kawasan di daerah Batu Aji dan Kota Batam. Kejelasan status diperlukan pengembang untuk menghindari persoalan hokum dikemudian hari.

"Pengembang sebenarnya sudah merencanakan dengan baik pembangunan properti di Batam tahun 2011. Tetapi, target 15.000 rumah seperti tahun-tahun sebelumnya itu tidak tercapai, karena masih terkendala status hutan lindung di beberapa lokasi di Batam. Saya belum bisa pastikan angka pembangunan properti selama tahun 2011 ini, tetapi agak sedikit menurun. Biasanya 15.000, sekarang tak sampai 10.000 unit," katanya, Selasa (20/12).

Menurut Djaya, meski masih berstatus hutan lindung, ironisnya pemerintah daerah telah mengalokasikan lahan tersebut ke pengembang sehingga pengembang melakukan pembangunan. Namun, setelah dilakukan pembangunan rumah yang dibangun ternyata tidak dapat dikeluarkan sertifikat oleh BPN karena status lahan tersebut. Kondisi itu menyebabkan konsumen atau warga dan pengembang mengalami kerugian.

Selain permasalahan hutan lindung, penyebab merosotnya bisnis properti di tahun 2011 juga dikarenakan tata ruang Kota Batam yang belum tuntas, kemudian kendala dalam penyaluran kredit rumah murah.

"Dulu namanya kredit rumah murah, sekarang oleh Kemenpera diganti menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Mekanisme FLPP ini masih ada sedikit kendala di lapangan, sehingga realisasi pembangunan properti kita agak menurun," kata Djaya. Mekanisme FLPP menjadi kendala karena sebagian besar properti di Batam merupakan properti dengan nilai menengah ke bawah, yaitu di kisaran 70 juta rupiah per unitnya.

Wakil Walikota Batam Rudi SE mengatakan pertambahan penduduk Batam setiap tahunnya mencapai 9 persen, atau 100.000 orang, dimana 70 persennya merupakan pendatang. Kondisi itu mestinya menjadi potensi bagi pertumbuhan industri properti. Untuk mensiasati keterbatasan lahan, Rudi menyarankan kepada pengembang untuk membangun rumah vertikal.

Menurut Djaya, pengembang masih enggan membangun perumahan vertikal karena belum ada payung hukumnya. Pengembang masih menunggu keputusan dari pemerintah terkait Peraturan daerah Strata Tittle dan Perda pendukung lainnya.

"Kita menunggu Perda Strata Tittle, karena sampai sekarang sertifikat bangunan bertingkat belum bisa dipecahkan. Pastinya masyarakat menanyakan ini. Kami akan membicarakan hal ini dengan Pemko Batam dan DPRD," kata Djaya.

Sekretaris Jenderal DPP REI Eddy Hussy mengatakan, properti merupakan lokomotif petumbuhan ekonomi nasional, sebab banyak bisnis lainnya yang ikut berkembang seiring pertumbuhan binis property, seperti industri semen, atap, dan industri padat karya lainnya, seperti bisnis kayu, ataupun jasa pembangunan. Untuk itu, pemerintah daerah mestinya memberi kemudahan pada pengembang untuk berinvestasi. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar