Selasa, 06 Desember 2011

Industri Butuh Gas

Industri dalam negeri akan sulit bersaing pada Asean-China Free Trade Area (ACFTA) jika Pemerintah tidak dapat menjamin pasokan energi khususnya gas. Untuk itu, kebijakan ekspor gas mesti dikaji kembali.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang juga CEO Bosowa Grup Erwin Aksa mengatakan, produksi gas nasional mestinya bisa dioptimalkan untuk menutupi kebutuhan energi di dalam negeri bukan di ekspor, sebab selama ini, kebijakan ekspor gas menjadi pangkal masalah krisis energi di dalam negeri. Apabila pemerintah tidak segera mengambil kebijakan yang konkret di bidang energi, maka krisis akan terus terjadi. Pemerintah juga perlu menata ulang regulasi pengelolaan ladang-ladang gas dalam negeri sehingga tidak semata bertumpu pada pihak asing.

Hingga tahun 2015, kebutuhan gas untuk industri dalam negeri khususnya 326 pabrik dari 22 sektor industri di 15 provinsi sekitar 2.798-3.283 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Jumlah itu bisa dipenuhi jika pemerintah mau mengurangi ekspor dan memperbesar penjualan di dalam negeri.

Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Gas Negara Tbk, Sri Budi Mayaningsih mengatakan, sesuai statistik Migas, produksi gas Indonesia pada tahun 2010 sekitar 9.336 mmscfd. Dari jumlah itu yang diekspor 4.827 mmscfd (lewat pipa 915 mmscfd dan LNG 3.912), sehingga mestinya kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi. Sementara itu, total cadangan gas dalam negeri saat ini diperkirakan 157,14 TCF sehingga peningkatan kebutuhan dalam negeri pada beberapa tahun kedepan bisa diantisipasi dari pengoptimalan kapasitas produksi yang ada.

Sebagai perusahaan yang bertanggung jawab pada pengelolaan gas dalam negeri, kata Sri maka PGN dalam kebijakannya selalu berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun perseroan juga harus mempertimbangkan keuntungan karena PGN juga perusahaan yang dituntut untuk menghasilkan keuntungan.

“Untuk jangka pendek, PGN punya kebijakan tetap mencari pasok gas baik yang konvensional maupun non-konvensional, karena masalah yang paling mendesak saat ini adalah pasok gas,” katanya kepada Koran Jakarta, Kamis (22/9).

Perseroan perlu mendapat untung, karena harus mengeluarkan biaya investasi yang cukup besar setiap tahunnya. Besarnya investasi itu disesuaikan dengan irama tambahan pasok gas. Jika ada tambahan pasok, maka pasti ada tambahan investasi untuk pembangunan pipa supaya bisa menerima gas dan mendistribusikan ke pelanggan.

Menurut Sri, investasi untuk tahun tahun mendatang akan lebih tinggi karena dilakukan dengan semangat yg sebaliknya yakni investasi dulu supaya dapat pasok gas. Contohnya seperti, pembangunan LNG receiving terminal, pengembangan usaha ke hulu dan ke hilir, sebagai bagian dari strategi PGN untuk "beyond pipeline". PGN juga sedang membangun LNG FSRU (Floating Station Receiving Unit), yaitu Receiving Terminal yang akan melakukan regasifikasi LNG dengan menggunakan kapal yang terapung di atas laut. Lokasi yang sedang dibangun di Jawa Barat, kerjasama dengan Pertamina (PGN 40 persen, Pertamina 60 persen) dan dijadwalkan selesai tahun 2012. Proyek LNG FSRU berikutnya direncanakan di Medan dan saat ini dalam tahap proses lelang.

Biaya investasi untuk setiap proyek LNG FSRU adalah hanya untuk pipa, M/RS dan fasilitas pendukung di sekitar lokasi stasiun, yang memakan biaya sekitar 80-100 juta dollar AS, sedangkan untuk vessel dan alat regasifikasi didalamnya, akan diadakan secara leasing sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan.
Menurut Sri, meski memiliki tanggung jawab untuk dapat memenuhi kebutuhan gas dalam negeri untuk kebutuhan industri namun perseroan juga harus senantiasa memperhatikan factor harga, karena kinerja perseroan akan sangat tergantung dari harga jual gas. Selama semester satu 2011 ini, PGN mengalami penurunan kinerja yang dipicu adanya penurunan volume penyaluran distribusi serta terjadinya peningkatan pada beban pokok dan beban operasi. Peningkatan beban pokok diakibatkan oleh kenaikan harga beli gas dari perpanjangan kontrak dan kontrak gas baru.

Pengamat Ekonomi CSIS, Pande Raja Silalahi mengatakan, pemerintah sebenarnya punya otoritas untuk menentukan penjualan gas, namun faktor yang harus diperhatikan tentunya harga. Jika harga jual di luar negeri atau harga jual ekspor lebih tinggi dibanding harga jual di dalam negeri, maka idealnya pemerintah akan menjual lebih banyak ke luar negeri untuk mendapatkan untung yang lebih besar.

“Pemerintah itu bukan lembaga sosial yang harus menjual faktor produksi dengan harga murah sehingga rugi. Kalau seperti itu, bagaimana pertanggungjawabannya nanti,” kata Pande, Jumat (23/9)

Namun, kata Pande pemerintah punya tanggung jawab untuk menjaga iklim usaha di dalam negeri tetap baik sehingga tidak seluruh gas harus di ekspor tetapi sebagian harus di jual di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri, meski dengan harga jual lebih rendah dibanding harga ekspor.

Menurut Pande, rendahnya harga jual gas di dalam negeri yang menyebabkan pemerintah harus mengekspor gas. Untuk itu, jika industri di dalam negeri mau membeli gas pada harga pasaran maka pemerintah tidak perlu melakukan ekspor gas. Untuk itu, pelaku industri di dalam negeri mestinya bisa meningkatkan produktivitas dan efisiensinya, sebab jika industri di luar negeri mampu membeli gas di harga pasaran dunia idealnya industri di dalam negeri juga bisa membeli gas di harga tersebut.

Erwin Aksa mengatakan, pemerintah mesti mengkaji kembali kebijakan energinya, karena salah satu masalah utama dalam peningkatan daya saing dan investasi industri nasional adalah pasokan energi yang memadai. Maka, apabila kebutuhan pasokan gas tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, sama artinya pemerintah tidak memberikan kepastian iklim usaha.

Menurutnya, jika pemerintah memaksa industri dalam negeri harus membeli gas dengan harga sesuai pasar, maka pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang berkualitas untuk menekan biaya produksi. Pasalnya saat ini industri dalam negeri menghadapi persoalan biaya ekonomi tinggi yang disebabkan tidak tersedianya infrastruktur memadai. Sementara itu, di Negara lain seperti China infrastruktur sudah memadai sehingga pengusahanya bersedia membeli gas di harga pasaran.

Dikatakan, harus ada keberpihakan dari pemerintah terhadap industri nasional agar daya saing industri nasional meningkat. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar