Kebijakan soal penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) yang diterbitkan Bank Indonesia baru baru ini dinilai akan menambah persoalan bagi pengusaha. Selain itu, kemampuan bank dalam negeri masih diragukan untuk menyerap seluruh nilai transaksi ekspor nasional.
Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan nomor 13/20/PBI/2011 tentang penerimaan devisa hasil ekspor berbarengan dengan penarikan devisa utang luar negeri pada 30 September 2012. Peraturan tersebut efektif berlaku 2 Januari 2012 dan sangsinya baru diterapkan enam bulan kemudian pada 2 Juli 2012 guna memberi kesempatan kepada pihak pihak terkait melakukan penyesuaian.
Ketua Tim Pengaturan Pengelolaan Moneter dan Pasar Uang Bank Indonesia, Bistok Simbolon dalam seminar yang membahas kebijakan itu di Batam, Kamis (13/10) menjelaskan, latar belakang lahirnya aturan itu karena masih banyaknya penerimaan DHE yang tidak melalui bank devisa di dalam negeri. Kondisi itu memberi dampak pada keseimbangan pasokan dan permintaan di pasar valas domestik yang sebagian dipenuhi oleh aliran modal jangka pendek yang rentan terhadap pembalikan (sudden capital reversal) yang bisa menganggu stabilitas nilai tukar dan makro ekonomi.
Dengan adanya kebijakan itu diharapkan pasokan valas di pasar domestik menjadi lebih stabil dan berkelanjutan sehingga bisa memberi kontribusi maksimal bagi terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan mendukung upaya menjaga kestabilan nilai rupiah dan memperkuat stabilitas makroekonomi.
“Perbedaan antara kebijakan yang lama dengan yang baru adalah bahwa dalam kebijakan yang baru eksportir wajib hukumnya melakukan transaksi pembayaran dengan mitranya di luar negeri melalui bank devisa di dalam negeri. Kalau kebijakan yang lama transaksi bisa dilakukan di Negara manapun,” katanya, Kamis (13/10).
Dalam PBI nomor 13/20/PBI/2011 disebutkan bahwa setiap pengusaha di Indonesia yang akan melakukan ekspor nantinya akan mengurus beberapa dokumen ekspor salah satunya dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang atau PEB yang nantinya menjadi rujukan bagi BI mengecek kepatuhan eksportir melaksanakan kebijakan tersebut. Untuk itu, Eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung seperti PEB kepada BI paling lama 90 hari kalender setelah PEB. Lalu dalam hal mekanisme pembayaran DHE bisa dilakukan dengan menggunakan L/C (letter of credit), konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 90 hari kalender setelah PEB.
Nilai transaksi yang diterima eksportir harus sama dengan PEB kecuali disebabkan oleh beberapa hal antar lain, biaya yang ditimbulkan dari jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing, biaya administrasi 10 persen dari nilai PEB atau ekuivalen 10 juta rupiah dan importir mengalami wanprestasi, pailit atau mengalami keadaan memaksa.
BI selanjutnya akan melakukan penelitian dokumen atas kepatuhan eksportir terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE dan untuk menjalankan tugas itu, BI berhak meminta bukti, catatan dan dokumen pendukung dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait.
“Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban DHE akan dikenakan sangsi administratif dan denda sebesar 10 juta rupiah sampai 100 juta rupiah,” kata Bistok.
Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Kepri, Ibnu Arif mengapresiasi kebijakan BI tersebut namun pada tahap awal akan merepotkan pengusaha karena ada beberapa dokumen yang harus di urus sebelum melakukan ekspor. Hal tersebut diperkirakan akan menimbulkan biaya yang bisa meningkatkan ongkos produksi.
Selain itu, Ibnu juga masih meragukan kemampuan Bank Nasional untuk mengelola seluruh nilai transaksi ekspor nasional yang nilainya bisa mencapai ratusan triliun rupiah, sebab paska krisis yang terjadi 1998 Bank banyak yang collaps atau tutup. Untuk itu, BI harus menjamin kemampuan dan kapasitas Bank Devisa di dalam negeri untuk mampu menghimpun seluruh transaksi ekspor nasional.
“Jika BI meminta pengusaha harus melakukan transaksi ekspor melalui Bank devisa di dalam negeri maka BI juga harus memastikan kemampuan dan kapasitas Bank di dalam negeri dalam kondisi sehat untuk menghindari hal hal yang tidak di inginkan yang mungkin terjadi kedepannya,” kata Ibnu kepada Koran Jakarta, Kamis (13/10).
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi kuatir kebijakan soal DHE menghilangkan peluang pengusaha nasional mendapat pinjaman dari luar negeri karena selama ini banyak pengusaha nasional yang menggunakan pinjaman dari bank asing untuk membiayai kegiatan ekspor.
Menurut Sofyan, kecenderungan untuk memilih bank asing itu lantaran tingkat suku bunganya lebih murah ketimbang bunga yang ditawarkan bank nasional. Bank di luar negeri memberikan suku bunga hanya 3-5 persen per tahun sedangkan bank nasional memberi suku bunga 9-12 persen per tahun.
Selain itu, kebijakan BI tersebut juga menyulitkan pengusaha dalam melaporkan arus dana yang setara dengan transaksi ekspor. Lantaran, eksportir selama ini sudah memiliki hubungan transaksi perdagangan dengan importir yang baik, sehingga pengiriman produk tanpa harus menyertakan letter of credit (L/C).
Pemerintah melalui Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar minta agar BI menyosialisasikan dan mendiskusikan kebijakan itu pada setiap eksportir sehingga tidak sampai mengganggu kegiatan bisnis mereka. Apabila bank yang beroperasi di Indonesia bisa menampung devisa, tapi tetap memperhatikan skala bisnis, volume kebutuhan modal, dan tingkat perdagangan eksportir, sepertinya dunia usaha pun tidak akan keberatan.
Peneliti Ekonomi Madya Senior Biro Kebijakan Moneter BI, Elisabeth Sukowati mengatakan, Indonesia sebenarnya terlambat memberlakukan kebijakan soal DHE dibanding Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang sudah sejak lama memberlakukan kebijakan tersebut. Namun, momentum yang terjadi saat ini dinilai tepat untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Menurutnya, krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika serikat dan Eropa saat ini bisa saja memburuk sehingga perlu antisipasi dari pemerintah dan BI sebagai pemegang kuasa atas kebijakan moneter. Dampak terhadap pasar keuangan dalam negeri sudah mulai terasa akibat krisis tersebut, itu terlihat dari kondisi pasar valas domestic yang secara structural kekurangan pasokan. Kekurangan pasokan dipenuhi aliran modal asing jangka pendek (hot money) yang mudah mengalami pembalikan dan memicu gangguan stabilitas kurs rupiah.
Untuk itu perlu instrument yang tepat agar stabilis pasar keuangan domestic tetap terjaga dan diharapkan melalui PBI nomor 13/20/PBI/2011 bisa diatas. Melalui kebijakan itu diharapkan bisa memperkuat stabilitas makroekonomi dan sumber pembiayaan ekonomi lalu mendukung kebijakan perpajakan terkait restitusi pajak dan meningkatkan kualitas statistic dan monitoring devisa.
Kebijakan itu juga diharapkan bisa mengaktifkan pasar valuta asing dan meningkatkan kedalaman pasar keuangan di dalam negeri.
Kebijakan ini juga, kata Elisabeth memberi peluang baru bagi industri perbankan untuk membuka layanan penerimaan transaksi ekspor. Untuk itu, Bank harus menyiapkan infrastruktur dan tenaga pendukung seperti para professional untuk menjalankan bisnis tersebut. Meski demikian, layanan yang diberikan bank nantinya diharapkan tidak memberi beban atau ongkos baru kepada pengusaha. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar