Maraknya peredaran pipa baja dari China dengan harga murah mesti diantisipasi produsen pipa baja dalam negeri dan pemerintah agar tidak sampai menganggu industri pipa baja nasional.
Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian, Putu Surya Wiryawan mengatakan, produksi industri pipa baja lokal untuk keperluan pengeboran minyak dan gas lepas pantai di Batam mengalami penurunan signifikan disebabkan maraknya peredaran pipa baja jadi dari China yang harganya lebih murah. Kondisi itu menyebabkan produsen pipa baja di Batam tidak dapat bersaing dengan baja China sehingga produksi di turunkan. Ironisnya, sebagian produsen justru membeli pipa baja dari China dengan harga murah tersebut untuk dijual kembali dengan harga tinggi.
Untuk mengantisipasi dampak negatif yang lebih buruk atas peredaran pipa baja dari China maka pemerintah pusat telah menginstruksi pemerintah Batam untuk benar-benar memberikan proteksi dan prioritas pada produsen lokal.
"Salah satunya yang harus diperketat adalah pengawasan, sebab ada kecurigaan produsen di Batam yang hanya mampu menghasilkan 50 batang pipa justru memasarkan 500 batang pipa ke pasaran. Diperkirakan mereka membeli pipa baja dari China untuk dijual kembali," katanya.
Menurutnya, Batam harus diproyeksikan menjadi pusat logistik penunjang industri minyak dan gas di Indonesia, sehingga harus benar dilakukan pengawasan yang melindungi produsen lokal.
Anggota dua Deputi Bidang Pelayanan Jasa, Badan Pengusahaan (BP) Batam, Fitrah Komaruddin mengatakan saat ini telah melarang pelaku impor pipa baja melakukan inpor produk jadi. Di Batam sendiri, kata dia terdapat delapan perusahaan industri yang bergerak dalam bidang pembuatan pipa pengeboran minyak lepas pantai, salah satunya PT Citra Tubindo Tbk.
Sekretaris Perusahaan Citra Tubindo, Harsono mengatakan, pemerintah perlu meningkatkan perlindungan pada produsen pipa baja nasional dengan cara meningkatkan kandungan lokal penggunaan pipa baja lokal hingga 100 persen. Kemudian harus diberlakukan ketentuan wajib verifikasi impor besi atau baja untuk membendung serbuan produk pipa baja impor.
Menurutnya, maraknya perdagangan pipa baja impor, khususnya dari China, menyebabkan produksi dalam negeri anjlok. Pada semester satu 2011, tingkat produksi pipa baja nasional diketahui tidak lebih dari 15 persen setara dengan 191.250 ton dari kapasitas terpasang 1,28 juta ton per tahun. Padahal, pada saat yang sama konsumsi pipa baja di dalam negeri diprediksi mencapai 825.000 ton atau tumbuh 10 persen dibandingkan dengan kebutuhan tahun lalu sekitar 750.000 ton. Pertumbuhan konsumsi itu terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi global. Namun, industri lokal tidak mampu meningkatkan produksi, khususnya pipa baja berbasis seamless dan welded, untuk konstruksi properti dan infrastruktur migas akibat terpukul produk sejenis dari China.
Kondisi itu ditengarai telah berlangsung sejak beberapa tahun. Meski begitu, sejauh ini belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk membendung impor produk baja dan melindungi produsen nasional.
Berdasarkan laporan The Indonesia Iron and Steel Industry Association (USIA) kepada Kementerian Perindustrian, seluruh produsen pipa baja anggota USIA yang mencakup 14 produsen pipa mengalami injury (kerugian) akibat tekanan itu sehingga dengan terpaksa mengurangi produksi, penjualan, dan keuntungan.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Impor baja pada semester satu 2011 mencapai 2,58 juta ton dengan nilai 2,35 miliar dollar AS. Impor terbesar di antaranya terjadi pada skrap (165,07 juta dollar AS), bloom, billet, dan ingot (293,58 juta dollar AS), HRC/P (440,61 juta dollar AS), CRC/S (320,83 juta dollar AS), baja lembaran lapis (245,33 juta dollar AS), batang kawat baja (571,59 juta dollar AS), kawat baja antikarat (249,43 juta dollar AS), dan penyambung pipa (148,85 juta dollar AS). (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar