Jumat, 02 Desember 2011

Optimisme Investor Terhadap FTZ-BBK Mengendur


Foto : Abidin Hasibuan/Direktur Utama PT Satnusa Persada Tbk.

Pengusaha menilai daya saing Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai kawasan free trade zone yang dirancang untuk menjaring investor asing semakin merosot dibanding kawasan sejenis di negara tetangga, dipicu banyaknya kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro investasi, birokrasi yang masih rumit serta infrastruktur yang belum memadai.

Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Pengusaha Indonesia Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang juga Direktur Utama PT Satnusa Persada Tbk, Abidin Hasibuan mengatakan, daya tarik BBK sebagai kawasan investasi semakin turun jika dibanding kawasan sejenis di Malaysia, Vietnam atau China disebabkan beberapa hal antara lain, Banyaknya peraturan daerah yang memberatkan pengusaha, masih adanya pungutan liar, birokrasi yang masih rumit serta infrastruktur yang belum memadai.

Menurutnya, salah satu kebijakan pemerintah daerah (Pemkot Batam) yang tidak pro investasi dan pro bisnis adalah soal Ranperda atau Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan. Ranperda tersebut sudah ditolak pengusaha karena dinilai mubazir disebabkan sudah ada aturan yang lebih tinggi yakni UU no 13 tahun 2003 yang menjadi payung hokum soal ketenagakerjaan.

“Otonomi daerah di salah artikan oleh Pemerintah di daerah dengan membuat peraturan sesukahatinya, bahkan terkadang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Perda juga sering malah justru menghambat investasi,” kata Abidin kepada Koran Jakarta, Kamis (20/10).

Ironisnya, kata Abidin meski sudah ditolak pengusaha, namun DPRD dan Pemko Batam terus membahas Ranperda tersebut, sehingga menimbulkan rasa pesimisme bagi pengusaha terhadap iklim investasi di Batam. Untuk itu, Apindo berharap Gubernur Kepri dan Menteri Dalam Negeri menolak Ranperda Ketenagakerjaan tersebut.
Senada dengan Abidin, Ketua Tim Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau yang juga Direktur Utama PT Citra Tubindo Tbk, Kris Wiluan mengatakan, banyak Perda yang saat ini membingungkan pengusaha, sehingga perlu dievaluasi bahkan dicabut.

"Perda-Perda yang berpotensi menghambat investasi sebaiknya dicabut,” katanya.

Selain Ranperda tentang ketenagakerjaan, Perda lain yang dianggap memberatkan pengusaha, di antaranya tentang Donasi Bandara dan Kepelabuhanan. Pemerintah daerah mestinya tidak memberlakukan Perda Donasi Bandara karena masyarakat yang menggunakan bandara sudah membayar pajak pelabuhan ke pemerintah, sehingga jika harus membayar donasi lagi berarti masyarakat harus membayar dua kali.

Menurut Abidin, Pemerintah pusat harus segera menegur dan menindak pejabat di daerah yang justru menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif karena jika dibiarkan maka BBK akan kehilangan momentum untuk menjaring investasi asing, khususnya dari Jepang dan Thailand yang saat ini mengalami bencana.

Paska Bencana Gempa Bumi di Jepang dan banjir di Thailand menyebabkan sejumlah investor asing mencari lokasi baru untuk menanamkan modalnya. Kondisi itu mestinya dimanfaatkan secara baik oleh pejabat di Batam dan Kepri dengan mengundang para investor tersebut untuk berinvetasi. Namun, sayangnya pemerintah daerah justru mengeluarkan aturan aturan yang memberatkan investor asing.

Oleh karenanya, Abidin menganggap wajar jika Pemerintah pusat melalui Badan Kordinasi Penanaman Modal Nasional (BKPM) tidak memberikan penghargaan bagi Kota Batama dan Provinsi Kepri sebagai daerah terbaik bidang penanaman modal (regional champions) dalam ajang invesment Award 2011. Provinsi Kepri justru kalah bersaing dengan Provinsi Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat, padahal daerah itu tidak diberi fasilitas sebagai FTZ.

Anggota DPR dari Provinsi Kepri, Harry Azhar Azis menilai, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Muhammad Sani kurang bekerja keras untuk menjaring investor asing masuk ke Kepri karena sudah cukup puas dengan kondisi yang ada saat ini.

"Kalau saya lihat, Pak Sani cukup puas dengan kondisi yang ada sehingga tak berusaha untuk menarik investasi. Jadi saya kira mungkin cukup puas dengan kondisi yang ada," kata Harry.

Jika Sani sebagai Gubernur berkepentingan untuk menarik investasi di Kepri, terutama di Batam harusnya mengajukan perubahan Peraturan Pemerintah khususnya mengenai keluar masuknya barang ke Batam.

"Selama ini barang yang masuk Batam bukan dikatakan untuk pasar Batam, sehingga dikatakan penyelundupan. Jadi kalau mereka berkepentingan harusnya mengajukan perubahan PP," katanya.

Soal KEK di Karimun dan Bintan, juga harusnya diajukan perubahan PP karena pemberlakuan KEK tidak berlaku di seluruh wilayah Karimun dan Bintan, tidak seperti Batam. Pemberlakuan KEK di Karimun dan Bintan, lanjutnya, hanya sekitar pelabuhan atau pabean saja sehingga kurang memberikan efek bagi investasi di Karimun dan Batam.
Untuk itu, Harry berharap pemerintah pusat segera mengevaluasi pelaksanaan FTZ di kawasan BBK untuk mengoptimalkan peran kawasan tersebut dalam menarik investor asing. Salah satu hal yang harus di evaluasi pemerintah pusat adalah kelembagaan FTZ yang dinilai terlalu kaku, sangat birokratis serta terlalu gemuk.

Harus ada kejelasan soal pembagian tugas antara Ketua Dewan Kawasan dengan Wakilnya, selain itu pemerintah juga perlu memangkas strukturnya karena terlalu gemuk lalu menempatkan para professional agar ruang geraknya menjadi lebih cepat.

Terkait dengan infrastruktur, Harry berharap pembangunan pelabuhan kontainer dipercepat dengan cara segera melakukan tender ulang setelah investor dari Perancis yang memenangkan tender pertama gagal melakukan pembangunan.

Mengendurnya minat investasi asing ke BBK khususnya Batam juga diakui Badan Pengusaha Batam atau Otorita Batam yang menyebut jumlah PMA yang masuk selama Januari sampai September 2011 lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu.

Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Hubungan Masyarakat BP Batam Dwi Joko Wiwoho mengatakan, jumlah PMA atau investor asing yang masuk ke Batam hanya 71 Penanam Modal Asing (PMA) selama Januari sampai September 2011, lebih rendah dibanding periode sama tahun 2010 yang mencapai 82 PMA.

“Sejak Januari sampai September, ada 71 PMA yang masuk ke Batam dengan total investasi 79,5 juta dollar AS, khusus untuk bulan September saja ada 7 perusahaan,” katanya. Perusahaan yang berinvestasi tahun ini didominasi oleh perusahaan dari Singapura, Jepang, Cina dan lainnya, yang bergerak dibidang manufaktur dan perdagangan. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar