Selasa, 12 Februari 2013

Ancaman Buruh Mengancam Investasi di Batam


 
Maraknya aksi unjuk rasa buruh yang mengacam perusahaan untuk mengabulkan tuntutan mereka dengan cara mogok selama berhari hari telah membangun opini negatif terhadap  iklim investasi di Batam, sehingga diperlukan tindakan tegas dari aparat untuk menegakan hukum agar investor nyaman berusaha di daerah ini.
 
Ketua Kadin Kepri, Johanes Kennedy Aritonang mengatakan, unjuk rasa merupakan hal yang biasa dalam negara demokrasi dan itu diperbolehkan. Namun, unjuk rasa yang memaksakan kehendak lalu melakukan mogok kerja dan merusak fasilitas umum dan pabrik merupakan tindakan kriminal yang mestinya pelaku aksi tersebut dikenakan sangsi atau human. Namun, yang terjadi selama ini aparat penegak hukum atau kepolisian seolah membiarkan aksi tersebut dan jarang ada tindakan hokum bagi para buruh yang melakukan perusakan tersebut.
 
Selain itu, tindakan buruh yang memaksa agar tuntutanya dikabulkan juga menjadi persoalan bagi investor yang berusaha di Batam, contohnya tuntutan buruh yang memaksa untuk menaikan upah minimum kota (UMK) Batam tahun 2013. Buruh memaksa agar UMK naik lebih dari dua juta rupiah, padahal pengusaha hanya mampu 1,7 juta rupiah. Akibatnya, Pemerimtah Kota Batam yang mendapat tekanan dari buruh terpaksa menyetujui usulan buruh dan mengabaikan usulan pengusaha.
 
“Dalam negara demokrasi tentu saja Unjuk rasa diperbolehkan tapi tidak memaksa dan bertindak anarkis karena banyak pihak yang dirugikan nantinya,” katanya Kennedy.
 
Menurutnya, keputusan Dewan Pengupahan tidak masuk akal karena bagaimana mungkin angka UMK bisa langsung naik hingga 56 persen sedangkan UMK tahun 2012 saja sudah memberatkan pengusaha, apalagi dengan UMK yang baru diputuskan Pemko Batam itu. Oleh karena itu, Kadin Kepri dan Apindo Kepri sepakat untuk mengugat keputusan tersebut.
 
Ketua Apindo Kepri, Ir Cahya mengatakan ketetapan UMK tahun 2013 sebesar 2.040.000 rupiah akan meningkatkan beban operasional perusahaan yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
 
Pasalnya banyak pengusaha yang tidak mampu membayar gaji karyawannya dengan angka UMK itu akibat peningkatan biaya operasional. Sebagai contoh jika satu perusahaan elektronik di Batam mempekerjakan 200 karyawan berarti perusahaan akan menambah 730 ribu rupiah per karyawan mulai tahun depan. Dengan demikian total biaya tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan sebesar 146 miliar rupiah.
 
“Dalam kondisi demikian, Perusahaan akan melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan, Akibatnya, banyak perusahaan yang bakal melakukan pemutusan hubungan kerja,” kata Cahya.
 
Menurut Cahya, setiap tahun saat hendak memutuskan angka UMK selalu disertai dengan aksi unjuk rasa besar besaran dari para buruh yang menekan pemerintah daerah serta pengusaha. Oleh karena itu, Pemerintah mestinya punya formulasi baru untuk menentukan UMK yang bisa diterima buruh dan pengusaha. Selain itu, tindakan buruh yang melakukan unjuk rasa dengan cara mogok kerja juga harus dihentikan karena perusahaan bisa merugi dan kehilangan pelanggan.
 
Cahya berharap Pemerintah Daerah dan Aparat keamanan bisa bertindak tegas dan memberi kepastian hukum agar pengusaha yang sudah berbisnis di Batam tidak cemas. Kondisi demikian juga berdampak buruk terhadap iklim investasi di Batam sehingga investor yang tadinya mau merealisasikan rencana investasinya banyak yang menunda bahkan membatalkan rencana tersebut lalu pindah ke tempat lain yang lebih aman dan nyaman. Oleh karena itu, daya saing Batam menjadi merosot dan daerah ini tidak lagi menjadi primadona bagi investor asing untuk berbisnis. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar