Maraknya aksi unjuk rasa buruh yang mengacam perusahaan untuk
mengabulkan tuntutan mereka dengan cara mogok selama berhari hari telah membangun
opini negatif terhadap iklim investasi
di Batam, sehingga diperlukan tindakan tegas dari aparat untuk menegakan hukum agar
investor nyaman berusaha di daerah ini.
Ketua Kadin Kepri, Johanes Kennedy
Aritonang mengatakan, unjuk rasa merupakan hal yang biasa dalam negara
demokrasi dan itu diperbolehkan. Namun, unjuk rasa yang memaksakan kehendak
lalu melakukan mogok kerja dan merusak fasilitas umum dan pabrik merupakan
tindakan kriminal yang mestinya pelaku aksi tersebut dikenakan sangsi atau human.
Namun, yang terjadi selama ini aparat penegak hukum atau kepolisian seolah membiarkan
aksi tersebut dan jarang ada tindakan hokum bagi para buruh yang melakukan perusakan
tersebut.
Selain itu, tindakan buruh yang
memaksa agar tuntutanya dikabulkan juga menjadi persoalan bagi investor yang
berusaha di Batam, contohnya tuntutan buruh yang memaksa untuk menaikan upah
minimum kota (UMK) Batam tahun 2013. Buruh memaksa agar UMK naik lebih dari dua
juta rupiah, padahal pengusaha hanya mampu 1,7 juta rupiah. Akibatnya,
Pemerimtah Kota Batam yang mendapat tekanan dari buruh terpaksa menyetujui
usulan buruh dan mengabaikan usulan pengusaha.
“Dalam negara demokrasi tentu saja
Unjuk rasa diperbolehkan tapi tidak memaksa dan bertindak anarkis karena banyak
pihak yang dirugikan nantinya,” katanya Kennedy.
Menurutnya, keputusan Dewan
Pengupahan tidak masuk akal karena bagaimana mungkin angka UMK bisa langsung naik
hingga 56 persen sedangkan UMK tahun 2012 saja sudah memberatkan pengusaha,
apalagi dengan UMK yang baru diputuskan Pemko Batam itu. Oleh karena itu, Kadin
Kepri dan Apindo Kepri sepakat untuk mengugat keputusan tersebut.
Ketua Apindo Kepri, Ir Cahya mengatakan ketetapan UMK
tahun 2013 sebesar 2.040.000 rupiah akan meningkatkan beban operasional
perusahaan yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Pasalnya banyak
pengusaha yang tidak mampu membayar gaji karyawannya dengan angka UMK itu
akibat peningkatan biaya operasional. Sebagai contoh jika satu perusahaan
elektronik di Batam mempekerjakan 200 karyawan berarti perusahaan akan menambah
730 ribu rupiah per karyawan mulai tahun depan. Dengan demikian total biaya
tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan sebesar 146 miliar rupiah.
“Dalam kondisi demikian,
Perusahaan akan melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan, Akibatnya,
banyak perusahaan yang bakal melakukan pemutusan hubungan kerja,” kata Cahya.
Menurut Cahya, setiap tahun saat
hendak memutuskan angka UMK selalu disertai dengan aksi unjuk rasa besar
besaran dari para buruh yang menekan pemerintah daerah serta pengusaha. Oleh
karena itu, Pemerintah mestinya punya formulasi baru untuk menentukan UMK yang
bisa diterima buruh dan pengusaha. Selain itu, tindakan buruh yang melakukan
unjuk rasa dengan cara mogok kerja juga harus dihentikan karena perusahaan bisa
merugi dan kehilangan pelanggan.
Cahya berharap Pemerintah Daerah dan
Aparat keamanan bisa bertindak tegas dan memberi kepastian hukum agar pengusaha
yang sudah berbisnis di Batam tidak cemas. Kondisi demikian juga berdampak
buruk terhadap iklim investasi di Batam sehingga investor yang tadinya mau
merealisasikan rencana investasinya banyak yang menunda bahkan membatalkan
rencana tersebut lalu pindah ke tempat lain yang lebih aman dan nyaman. Oleh
karena itu, daya saing Batam menjadi merosot dan daerah ini tidak lagi menjadi
primadona bagi investor asing untuk berbisnis. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar