Status
Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai kawasan Free Trade Zone atau pelabuhan dan perdagangan bebas patut dipertanyakan
karena banyaknya aturan dagang yang justru mengambat dan tidak memberi
kebebasan bagi para pedagang dalam berbisnis.
Istilah Free Trade Zone sebagai
salah satu bentuk dari zona ekonomi (Economic Zone) pada umumnya
memiliki konsep teoritis yang mengandaikan berlakunya sistem perdagangan
internasional yang dibebaskan dari hambatan yang disebabkan oleh ketentuan
pemerintah suatu negara, baik yang disebabkan oleh pengenaan tariff (tariff
barriers) maupun nir-tarif (bukan tarif / non-tariff barriers).
Ada empat hal penting yang
merupakan karakteristik utama zona perdagangan bebas (FTZs), yaitu pertama,
Merupakan kawasan industri yang mengkhususkan diri di bidang manufaktur untuk
ekspor dan menawarkan perusahaan pada kondisi perdagangan bebas dan lingkungan
peraturan yang liberal. Kedua merupakan zona industri dengan insentif khusus
yang dibentuk untuk menarik investor asing, di mana bahan impor mengalami beberapa
tingkat proses sebelum diekspor kembali.
Ketiga, merupakan area yang jelas
dibatasi dan tertutup dengan wilayah pabean nasional, sering terletak pada
lokasi geografis yang menguntungkan dengan infrastruktur yang sesuai dengan pelaksanaan
perdagangan dan operasional industri serta tunduk pada prinsip bea cukai dan fiscal
segregation. Keempat, merupakan
suatu kawasan industri yang jelas digambarkan sebagai kantong perdagangan bebas dalam
pabean dan rezim perdagangan yang ditetapkan oleh suatu suatu negara, dimana
perusahaan manufaktur asing, terutama yang melakukan produksi industri
berorientasi ekspor, mendapat keuntungan dari sejumlah insentif fiskal dan
keuangan.
Ketua Dewan Pembina Apindo Kepri, Abidin Hasibuan
mengatakan, Ditetapkannya Batam bersama dengan Bintan dan Karimun sebagai zona
perdagangan dan pelabuhan bebas, mestinya didukung dengan perangkat hukum yang
ada untuk memberi kepastian hukum pada pebisnis yang menjalani usaha di tempat
itu.
“Penerbitan aturan aturan baru yang membatasi sistem
perdagangan tidak sesuai dengan konsep FTZ, kondisi itu cenderung membatasi dan
mempreteli keistimewaan FTZ itu sendiri,” katanya.
Beberapa contoh aturan yang membatasi perdagangan di
kawasan FTZ BBK seperti larangan impor sayur dan buah. Pembatasan impor mobil
dan yang baru ditetapkan Pemerintah pusat adalah larangan impor elektronik
khususnya telepon genggam, computer jinjing dan tablet.
Abidin kuatir jika pemerintah terus menerus membuat
aturan yang membatasi perdagangan maka keistimewaan FTZ BBK akan hilang.
Dampaknya daya saing kawasan tersebut menjadi rendah sehingga sulit untuk
mendatangkan investor asing ke kawasan itu.
Manajer PT Kabil Industrial Estate, Agus Hidayat
menambahkan, FTZ BBK memiliki paying hokum Undang Undang dan Peraturan
Pemerintah, mestinya aturan yang dibawah menyesuaikan dengan payung hukum tersebut.
Contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 35
tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Aturan tersebut sangat membatasi
bisnis Migas di kawasan FTZ BBK sehingga mestinya ada pengecualian untuk kawasan
tersebut.
“Di dalam PP 35/2004 pasal 78 disebutkan seluruh barang dan peralatan yang
dibeli kontraktor untuk kegiatan hulu menjadi milik negara. Pasal itu sangat
krusial karena belum semua barang yang masuk ke Batam digunakan untuk kegiatan
eksplorasi di Indonesia,” katanya.
Adanya aturan itu justru menghambat pertumbuhan bisnis industri Migas di
BBK, padahal banyak perusahaan perminyakan multinasional yang berniat masuk ke
Batam untuk dijadikan logistic base namun masih terkendala oleh aturan mengenai
aset – aset migas yang menjadi milik negara ketika masuk ke wilayah RI.
Akibatnya, perusahaan migas
internasional tersebut memilih Singapura sebagai logistic base karena aturan yang lebih mudah walaupun harga sewa
lokasi relatif lebih mahal dibandingkan di Batam. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar