Minggu, 17 Februari 2013

Mempertanyakan Status FTZ BBK


Status Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai kawasan Free Trade Zone atau pelabuhan dan perdagangan bebas patut dipertanyakan karena banyaknya aturan dagang yang justru mengambat dan tidak memberi kebebasan bagi para pedagang dalam berbisnis.

Istilah Free Trade Zone sebagai salah satu bentuk dari zona ekonomi (Economic Zone) pada umumnya memiliki konsep teoritis yang mengandaikan berlakunya sistem perdagangan internasional yang dibebaskan dari hambatan yang disebabkan oleh ketentuan pemerintah suatu negara, baik yang disebabkan oleh pengenaan tariff (tariff barriers) maupun nir-tarif (bukan tarif / non-tariff barriers).
 
Ada empat hal penting yang merupakan karakteristik utama zona perdagangan bebas (FTZs), yaitu pertama, Merupakan kawasan industri yang mengkhususkan diri di bidang manufaktur untuk ekspor dan menawarkan perusahaan pada kondisi perdagangan bebas dan lingkungan peraturan yang liberal. Kedua merupakan zona industri dengan insentif khusus yang dibentuk untuk menarik investor asing, di mana bahan impor mengalami beberapa tingkat proses sebelum diekspor kembali.
 
Ketiga, merupakan area yang jelas dibatasi dan tertutup dengan wilayah pabean nasional, sering terletak pada lokasi geografis yang menguntungkan dengan infrastruktur yang sesuai dengan pelaksanaan perdagangan dan operasional industri serta tunduk pada prinsip bea cukai dan fiscal segregation. Keempat,  merupakan suatu kawasan industri yang jelas digambarkan sebagai kantong perdagangan bebas dalam pabean dan rezim perdagangan yang ditetapkan oleh suatu suatu negara, dimana perusahaan manufaktur asing, terutama yang melakukan produksi industri berorientasi ekspor, mendapat keuntungan dari sejumlah insentif fiskal dan keuangan.
 
Ketua Dewan Pembina Apindo Kepri, Abidin Hasibuan mengatakan, Ditetapkannya Batam bersama dengan Bintan dan Karimun sebagai zona perdagangan dan pelabuhan bebas, mestinya didukung dengan perangkat hukum yang ada untuk memberi kepastian hukum pada pebisnis yang menjalani usaha di tempat itu.

“Penerbitan aturan aturan baru yang membatasi sistem perdagangan tidak sesuai dengan konsep FTZ, kondisi itu cenderung membatasi dan mempreteli keistimewaan FTZ itu sendiri,” katanya.

Beberapa contoh aturan yang membatasi perdagangan di kawasan FTZ BBK seperti larangan impor sayur dan buah. Pembatasan impor mobil dan yang baru ditetapkan Pemerintah pusat adalah larangan impor elektronik khususnya telepon genggam, computer jinjing dan tablet.
Abidin kuatir jika pemerintah terus menerus membuat aturan yang membatasi perdagangan maka keistimewaan FTZ BBK akan hilang. Dampaknya daya saing kawasan tersebut menjadi rendah sehingga sulit untuk mendatangkan investor asing ke kawasan itu.

Manajer PT Kabil Industrial Estate, Agus Hidayat menambahkan, FTZ BBK memiliki paying hokum Undang Undang dan Peraturan Pemerintah, mestinya aturan yang dibawah menyesuaikan dengan payung hukum tersebut. Contohnya  Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Aturan tersebut sangat membatasi bisnis Migas di kawasan FTZ BBK sehingga mestinya ada pengecualian untuk kawasan tersebut.

“Di dalam PP 35/2004 pasal 78 disebutkan seluruh barang dan peralatan yang dibeli kontraktor untuk kegiatan hulu menjadi milik negara. Pasal itu sangat krusial karena belum semua barang yang masuk ke Batam digunakan untuk kegiatan eksplorasi di Indonesia,”  katanya.

Adanya aturan itu justru menghambat pertumbuhan bisnis industri Migas di BBK, padahal banyak perusahaan perminyakan multinasional yang berniat masuk ke Batam untuk dijadikan logistic base namun masih terkendala oleh aturan mengenai aset – aset migas yang menjadi milik negara ketika masuk ke wilayah RI.

Akibatnya,  perusahaan migas internasional tersebut memilih Singapura sebagai logistic base karena aturan yang lebih mudah walaupun harga sewa lokasi relatif lebih mahal dibandingkan di Batam. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar