Minggu, 17 Februari 2013

Delapan Kapal Nelayan Vietnam Diamankan


BATAM - Kapal pengawas milik Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI telah mengamankan delapan kapal ikan berbendera Vietnam selama Desember ini karena kedapatan mencuri ikan di sekitar perairan Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Kapal kapal tersebut selanjutnya disita dan menjadi milik KKP.  

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Syahrin Abdurrahman mengatakan, sejak awal Desember ini, KKP telah mengamankan sedikitnya delapan kapal nelayan Vietnam yang kedapatan mencuri ikan di sekitar perairan Natuna dan Anambas Provinsi Kepr. Sebelumnya juga telah diamankan dua kapal nelayan Vietnam dengan kasus yang sama sehingga total kapal nelayan Vietnam yang diamankan sebanyak 10 kapal pada tahun ini.

“Dalam kasus pencurian ikan atau illegal fishing, kita harus tegas dan serius untuk menegakan hokum karena negara dirugikan triliunan rupiah setiap tahunya akibat illegal fishing,” katanya, Senin (17/12).

Selain merugikan secara ekonomi, keberadaan kapal nelayan asing juga kerap mengancam kelestarian sumber daya ikan Indonesia dan lingkungan karena kapal asing tersebut menggunakan segala cara untuk menangkap ikan sebanyak banyaknya.

Menurut Syahrin penangkapan kapal ikan asing berbendera Vietnam ini merupakan upaya serius pihak KKP, untuk terus memerangi kegiatan illegal fishing, demi terjaganya kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan. Seiring dengan masih terjadinya pencurian ikan oleh kapal asing di wilayah perairan Indonesia lainya, maka KKP terus melakukan patroli dan memberikan sanksi yang berat terhadap pelakunya.

Sementara itu, Kalakhar Bakorkamla Laksdya TNI Bambang Suwarto mengatakan, bahwa penanganan terhadap pelaku-pelaku illegal fishing di lapangan telah solid dilaksanakan antar instansi-instansi penegak hukum yang dikoordinir oleh Bakorkamla.

Sebagaimana diketahui, kata Bambang, bahwa tidak seluruh Anak Buah Kapal (ABK) ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini sesuai dengan Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa, setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan di ZEEI tanpa ijin dikenakan pidana.

Setiap orang yang dimaksud di sini dapat diartikan sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap pengoperasian kapal tersebut, dalam hal ini Nakhoda dan Kepala Kamar Mesin (KKM). Sedangkan untuk ABK lainnya (ABK Non Justitia), segera dikembalikan ke negara asalnya.

"Keputusan ini telah sesuai dengan Pasal 83A ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menyebutkan bahwa selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan dapat dipulangkan," katanya.

Selain pertimbangan berdasarkan hukum tersebut, terdapat juga beberapa faktor antara lain, dampak penularan penyakit HIV/AIDS kepada masyarakat di lokasi penampungan, dampak sosial terutama terkait kerawanan keamanan masyarakat, sering dijumpai para ABK Non Justitia melakukan perbuatan nekat bahkan melakukan upaya bunuh diri, secara ekonomi biaya yang ditimbulkan dalam penampungan para ABK Non Justitia tersebut sangat membebani keuangan negara, serta untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku illegal fishing dengan ketegasan yang diterapkan.

"Dengan beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka Kalakhar Bakorkamla menganggap kebijakan Ditjen PSDKP untuk segera memulangkan ABK Non Justitia ke negara asal dengan menggunakan 2 (dua) kapal ikan tersebut merupakan tindakan yang tepat," kata Bambang. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar