Selasa, 12 Februari 2013

Ekonomi Batam di Persimpangan Jalan



Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Kota Batam tahun ini sekitar 6 - 7 persen, relatif sama dengan tahun tahun sebelumnya. Angka itu dinilai banyak pihak masih terlalu rendah jika dibanding potensi dan fasilitas yang dimiliki daerah ini sehingga dibutuhkan evaluasi dan audit dari Pemerintah Pusat terhadap institusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan investasi di daerah ini.

Ketua DPRD Kepri, Nursyafriadi mengatakan, Ekonomi Batam tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan meski sudah berstatus FTZ (free trade zone). Bahkan daya saing Batam kalah disbanding daerah lain yang tidak memiliki status FTZ seperti Kota Surabaya dan Medan. Itu terlihat dari survey yang dilakukan sebuan lembaga penelitian yang menyebut Batam tidak masuk dalam kategori daerah unggulan investasi di Indonesia.

“Sejak status Batam ditetapkan sebagai kawasan FTZ tahun 2007 lalu, perkembangan ekonomi tidak secepat yang diharapkan, ironisnya justru pertumbuhan ekonomi Batam lebih baik  sebelum ditetapkan sebagai daerah FTZ,” katanya.

Kondisi di daerah lain di Indonesia yang tidak memiliki status FTZ justru kemajuannya hampir sama dengan Batam, bahkan ada yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan Batam.

Hal itu menurut Nur Syafriadi disebabkan beberapa kendala antara lain, Pelayanan satu atap yang kurang maksimal, kepastian hukum belum jelas dan masih maraknya pungutan liar. Itu menyebabkan investor belum berani merealisasikan rencana investasinya meski sudah mengurus berbagai keperluan administrasi untuk menjalankan usaha di Batam. Kondisi demikian bisa dilihat secara nyata dari realisasi investasi yang sangat rendah jika dibanding aplikasi yang masuk.
Riset yang dilakukan Bank Indonesia Batam bahkan menyebutkan pertumbuhan ekonomi Batam tahun ini melambat disebabkan banyak faktor khususnya permintaan yang lemah dari Eropa dan Amerika Serikat sebagai pasar ekspor utama Batam.

Itu terlihat dari kinerja ekspor yang mengalami perlambatan, jika di kuartal pertama tahun ini pertumbuhanya 7,37 persen maka di kuartal dua turun menjadi 6,83 persen. Kondisi itu diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun disebabkan proses pemulihan ekonomi Eropa dan Amerika yang belum tuntas.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Batam, Uzersyah mengatakan, sebenarnya sudah ada langkah dari Badan Pengusahaan FTZ Batam sebagai institusi yang bertanggung jawab mengelola investasi di daerah ini untuk meningkatkan daya saing Batam sebagai kawasan unggulan investasi seperti menyusun roadmap pembangunan infrastruktur jalan, transportasi dan lainnya. Sayangnya, rencana itu belum menarik bagi investor untuk ramai ramai berbisnis di Batam.

Peneliti LIPI, Syarif Hidayat sudah sejak lama mengatakan perlu evaluasi dan audit atau restrukturisasi lembaga yang bertanggung jawab mengelola investasi di Batam karena salah satu penyebab belum maksimalnya pengembangan FTZ BBK (Batam, Bintan dan Karimun) untuk menarik investor asing adalah faktor kelembagaan yang terlalu gemuk menyebabkan kordinasi dan birokrasi tidak efisien. Oleh karena itu, kelembagaan atau struktur lembaga di FTZ BBK mesti direstrukturisasi.

Menurutnya, struktur lembaga di FTZ BBK saat ini adalah Dewan Nasional kemudian Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan. Tiga lembaga itu memiliki banyak struktur yang membidangi beberapa program. Orang orang yang ditempatkan di struktur tersebut adalah pejabat pemerintah di daerah dengan maksud supaya kordinasi lebih cepat nyambung. Namun, yang terjadi justru kelembagaan yang terlalu gemuk tersebut menjadi penghalang bagi kordinasi karena masing masing pejabat mementingkan pekerjaan utama mereka di pemerintahan ketimbang di Dewan Kawasan.

Anggota DPR RI, Harry Azhar Azis mengatakan, kelembagaan FTZ BBK harus direvisi karena tidak efektif. Kelembagaan yang ada saat ini dinilai terlalu gemuk sehingga harus dipangkas. Gubernur Provinsi Kepri tidak perlu lagi merangkap jabatan sebagai Ketua Dewan Kawasan, kemudian pemerintah juga bisa memberdayakan keberadaan lembaga Otorita Batam yang saat ini menjadi Badan Pengusahaan FTZ Batam sebagai penanggung jawab atau pemegang otoritas kawasan FTZ BBK. Jadi tanggung jawabnya tidak hanya mengelola investasi di Batam teapi juga di Karimun dan Bintan. Dengan demikian pemerintah bisa menghembat anggaran karena tidak perlu membentuk lembaga dan mencari pegawai baru, sebab sumber daya manusia dan perangkat infrastruktur di Otorita Batam sudah cukup untuk melakukan tugas sebagai Dewan Kawasan.

Wakil Ketua Kadin Kepri, Abdullah Gosse menambahkan, untuk efektivitas birokrasi di FTZ BBK, mestinya Pemerintah Pusat  menunjuk Pejabat Setingkat Menteri sebagai Ketua Dewan Kawasan FTZ BBK (Free Trade Zone Batam Bintan dan Karimun) sepertihalnya yang dilakukan pemerintah saat menunjuk Ketua Otorita Batam dahulu.
 
“Fasilitas FTZ yang diberikan Pemerintah pusat untuk BBK seolah mubazir karena belum ampuh menjadi faktor pendorong masuknya investasi asing ke kawasan ini. Untuk itu, perlu dipikirkan untuk memisahkan jabatan Gubernur sebagai Ketua Dewan Kawasan dan mestinya Pemerintah menunjuk Pejabat Setingkat Menteri sebagai Ketua Dewan Kawasan agar birokrasi menjadi lebih efisien,” katanya.
 
Dengan demikian, hambatan birokrasi yang terjadi selama ini baik itu ditingkat daerah maupun pusat bisa dihilangkan karena Ketua Dewan Kawasan nantinya bertanggung jawab langsung ke Presiden. Selain itu, Jika Pejabat Ketua Dewan Kawasan setingkat menteri juga bisa langsung mengambi keputusan strategis untuk pelaksanaan FTZ.
 
Pentingnya Ketua Dewan Kawasan dijabat oleh Pejabat setingkat Menteri, Menurut Gosse, karena kondisi selama ini Ketua Dewan Kawasan yang dijabat Gubernur tidak dapat mengambil keputusan strategis dan birokrasi yang ada masih terlalu panjang dan lama sehingga menghambat masuknya investasi asing ke daerah ini. (gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar