Bank
Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Kota Batam tahun ini sekitar 6 - 7
persen, relatif sama dengan tahun tahun sebelumnya. Angka itu dinilai banyak
pihak masih terlalu rendah jika dibanding potensi dan fasilitas yang dimiliki
daerah ini sehingga dibutuhkan evaluasi dan audit dari Pemerintah Pusat
terhadap institusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan investasi di
daerah ini.
Ketua DPRD Kepri, Nursyafriadi mengatakan, Ekonomi
Batam tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan meski sudah berstatus FTZ (free
trade zone). Bahkan daya saing Batam kalah disbanding daerah lain yang tidak
memiliki status FTZ seperti Kota Surabaya dan Medan. Itu terlihat dari survey
yang dilakukan sebuan lembaga penelitian yang menyebut Batam tidak masuk dalam
kategori daerah unggulan investasi di Indonesia.
“Sejak status Batam ditetapkan sebagai kawasan FTZ
tahun 2007 lalu, perkembangan ekonomi tidak secepat yang diharapkan, ironisnya
justru pertumbuhan ekonomi Batam lebih baik sebelum ditetapkan sebagai daerah FTZ,”
katanya.
Kondisi di daerah lain di Indonesia yang tidak
memiliki status FTZ justru kemajuannya hampir sama dengan Batam, bahkan ada
yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan Batam.
Hal itu menurut Nur Syafriadi disebabkan beberapa
kendala antara lain, Pelayanan satu atap yang kurang maksimal, kepastian hukum
belum jelas dan masih maraknya pungutan liar. Itu menyebabkan investor belum
berani merealisasikan rencana investasinya meski sudah mengurus berbagai
keperluan administrasi untuk menjalankan usaha di Batam. Kondisi demikian bisa
dilihat secara nyata dari realisasi investasi yang sangat rendah jika dibanding
aplikasi yang masuk.
Riset yang dilakukan Bank Indonesia Batam bahkan menyebutkan
pertumbuhan ekonomi Batam tahun ini melambat disebabkan banyak faktor khususnya
permintaan yang lemah dari Eropa dan Amerika Serikat sebagai pasar ekspor utama
Batam.
Itu terlihat dari kinerja ekspor yang mengalami
perlambatan, jika di kuartal pertama tahun ini pertumbuhanya 7,37 persen maka
di kuartal dua turun menjadi 6,83 persen. Kondisi itu diperkirakan berlanjut
hingga akhir tahun disebabkan proses pemulihan ekonomi Eropa dan Amerika yang
belum tuntas.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Batam,
Uzersyah mengatakan, sebenarnya sudah ada langkah dari Badan Pengusahaan FTZ
Batam sebagai institusi yang bertanggung jawab mengelola investasi di daerah
ini untuk meningkatkan daya saing Batam sebagai kawasan unggulan investasi seperti
menyusun roadmap pembangunan infrastruktur jalan, transportasi dan lainnya.
Sayangnya, rencana itu belum menarik bagi investor untuk ramai ramai berbisnis
di Batam.
Peneliti LIPI, Syarif Hidayat sudah sejak lama mengatakan
perlu evaluasi dan audit atau restrukturisasi lembaga yang bertanggung jawab
mengelola investasi di Batam karena salah satu penyebab belum maksimalnya
pengembangan FTZ BBK (Batam, Bintan dan Karimun) untuk menarik investor asing
adalah faktor kelembagaan yang terlalu gemuk menyebabkan kordinasi dan
birokrasi tidak efisien. Oleh karena itu, kelembagaan atau struktur lembaga di
FTZ BBK mesti direstrukturisasi.
Menurutnya, struktur lembaga di FTZ BBK saat ini
adalah Dewan Nasional kemudian Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan.
Tiga lembaga itu memiliki banyak struktur yang membidangi beberapa program.
Orang orang yang ditempatkan di struktur tersebut adalah pejabat pemerintah di
daerah dengan maksud supaya kordinasi lebih cepat nyambung. Namun, yang terjadi
justru kelembagaan yang terlalu gemuk tersebut menjadi penghalang bagi
kordinasi karena masing masing pejabat mementingkan pekerjaan utama mereka di
pemerintahan ketimbang di Dewan Kawasan.
Anggota DPR RI, Harry Azhar Azis mengatakan,
kelembagaan FTZ BBK harus direvisi karena tidak efektif. Kelembagaan yang ada
saat ini dinilai terlalu gemuk sehingga harus dipangkas. Gubernur Provinsi
Kepri tidak perlu lagi merangkap jabatan sebagai Ketua Dewan Kawasan, kemudian
pemerintah juga bisa memberdayakan keberadaan lembaga Otorita Batam yang saat
ini menjadi Badan Pengusahaan FTZ Batam sebagai penanggung jawab atau pemegang
otoritas kawasan FTZ BBK. Jadi tanggung jawabnya tidak hanya mengelola
investasi di Batam teapi juga di Karimun dan Bintan. Dengan demikian pemerintah
bisa menghembat anggaran karena tidak perlu membentuk lembaga dan mencari
pegawai baru, sebab sumber daya manusia dan perangkat infrastruktur di Otorita
Batam sudah cukup untuk melakukan tugas sebagai Dewan Kawasan.
Wakil Ketua Kadin Kepri,
Abdullah Gosse menambahkan, untuk efektivitas birokrasi di FTZ BBK, mestinya Pemerintah Pusat menunjuk Pejabat Setingkat Menteri sebagai
Ketua Dewan Kawasan FTZ BBK (Free Trade Zone Batam Bintan dan Karimun)
sepertihalnya yang dilakukan
pemerintah saat menunjuk Ketua Otorita Batam dahulu.
“Fasilitas FTZ yang
diberikan Pemerintah pusat untuk BBK seolah mubazir karena belum ampuh menjadi
faktor pendorong masuknya investasi asing ke kawasan ini. Untuk itu, perlu
dipikirkan untuk memisahkan jabatan Gubernur sebagai Ketua Dewan Kawasan dan
mestinya Pemerintah menunjuk Pejabat Setingkat Menteri sebagai Ketua Dewan
Kawasan agar birokrasi menjadi lebih efisien,” katanya.
Dengan demikian,
hambatan birokrasi yang terjadi selama ini baik itu ditingkat daerah maupun
pusat bisa dihilangkan karena Ketua Dewan Kawasan nantinya bertanggung jawab
langsung ke Presiden. Selain itu, Jika Pejabat Ketua Dewan Kawasan setingkat
menteri juga bisa langsung mengambi keputusan strategis untuk pelaksanaan FTZ.
Pentingnya Ketua Dewan
Kawasan dijabat oleh Pejabat setingkat Menteri, Menurut Gosse, karena kondisi
selama ini Ketua Dewan Kawasan yang dijabat Gubernur tidak dapat mengambil
keputusan strategis dan birokrasi yang ada masih terlalu panjang dan lama
sehingga menghambat masuknya investasi asing ke daerah ini. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar