BATAM – Sekitar 80 persen Hutan Bakau
atau Mangrove di Pulau Batam atau seluas 3.680 hektare dalam kondisi
memprihatinkan, rusak disebabkan alih fungsi lahan dan lemahnya penegakan hukum lingkungan. Itu
menyebabkan ekosistem terganggu serta merusak habitat biota laut.
Ketua Audit Lingkungan Sedunia, Ali Maskur Musa mengatakan, kondisi hutan
bakau atau Mangrove di Pulau Batam sudah sangat menguatirkan karena sebagian
besar atau 80 persen rusak disebabkan berbagai faktor antara lain, alih fungsi
lahan untuk kawasan industri, perkantoran dan perumahan serta kegiatan
masyarakat yang menjadikan pohon mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang, lemahnya
penegakan hukum dan lambatnya pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) oleh Pemerintah
Kota maupun Pemerintah Provinsi.
“Harus ada langkah kongkrit dari Pemerintah daerah untuk menyelamatkan hutan
bakau di Batam sebab jika tidak maka kerusakan ekosistem akan semakin parah
yang pada akhirnya nanti menyebabkan punahnya beberapa species mahkluk hidup
sehingga akan memutuskan rantai makanan,” katanya di Batam, Senin (19/11).
Sebagaimana diketahui, luas daratan Pulau Batam 415 kilometer persegi atau sekitar
400.000 hektare (Ha) yang terdiri dari kawasan hutan 23.430 hekatre atau
sekitar 58,57 persen dari total daratan dan 20 persennya atau 4.600 hektare
adalah hutan bakau. Jika 80 persen hutan bakau tersebut rusak berarti luasnya
mencapai 3.680 hektare.
Untuk menyelamatkan hutan bakau tersebut selain dibutuhkan kebijakan
pemerintah yang lebih pro pada lingkungan, peran aktif masyarakat juga dituntut
untuk menjaga hutan tersebut. Selain itu, pengusaha juga harus sadar dan lebih
peka terhadap lingkungan dengan tidak menjadikan kawasan hutan bakau sebagai
daerah industri.
Walikota Batam mengakui telah terjadi alih fungsi lahan hutan bakau untuk
kebutuhan industri khususnya industri galangan kapal yang sebagian besar
terletak di kawasan Tanjung Uncang. Oleh karena itu hutan bakau yang rusak
sebagian besar berada di kawasan Tanjung Uncang. Sedangkan di kawasan lain diduga disebabkan
oleh aktivitas masyarakat yang menjadikan bakau sebagai bahan baku pembuatan
arang.
“Pengusaha yang membuka pabriknya di sekitar areal hutan bakau telah
diwajibkan untuk menanam kembali bakau sebanyak dua kali lipat dari luas area
yang dijadikan lokasi pabrik dan tempat penanamanya dilakukan di kawasan lain
sehingga luas hutan bakau di Batam tidak berkurang atau tetap,” kata Dahlan.
Menurutnya, Pemko Batam tetap konsisten pada RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah) yang mewajibkan Pemerintah untuk menyediakan 32 persen daerahnya untuk
kawasan hijau atau hutan.
Sementara itu, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota
Batam, Dendi N Purnomo mengatakan, kondisi Hutan Bakau di Batam memang sudah
sangat menguatirkan bahkan luasnya diduga tidak lagi 20 persen tetapi sudah
menyusut menjadi hanya 4,0 persen.
"Berdasarkan catatan yang kami miliki pada tahun 1990 luas hutan mangrove 19 persen dan saat ini tinggal 4 persen," katanya.
Faktor utama penyebab rusaknya hutan bakau di Batam adalah kegiatan pembangunan. Mulai dari pembangunan kawasan industri, shipyard atau galang kapal, kompleks perumahan dan kegiatan pembangunan lainnya.
Pemko Batam, katanya telah melakukan langkah antisipasi dengan mengeluarkan Peraturan walikota untuk melindungi hutan bakau. Dalam peraturan itu, setiap kegiatan yang merusak hutan bakau maka pengembang atau perusahaannya diwajibkan menanam mangrove baru seluas dua kali lipat dari hutan yang telah dirusak.
"Misalnya kegiatan pembangunan shipyard merusak 1 hektare hutan bakau maka perusahaan yang bersangkutan harus menanam bakau baru seluas 2 hektare di tempat lain," kata Dendi.(gus).
"Berdasarkan catatan yang kami miliki pada tahun 1990 luas hutan mangrove 19 persen dan saat ini tinggal 4 persen," katanya.
Faktor utama penyebab rusaknya hutan bakau di Batam adalah kegiatan pembangunan. Mulai dari pembangunan kawasan industri, shipyard atau galang kapal, kompleks perumahan dan kegiatan pembangunan lainnya.
Pemko Batam, katanya telah melakukan langkah antisipasi dengan mengeluarkan Peraturan walikota untuk melindungi hutan bakau. Dalam peraturan itu, setiap kegiatan yang merusak hutan bakau maka pengembang atau perusahaannya diwajibkan menanam mangrove baru seluas dua kali lipat dari hutan yang telah dirusak.
"Misalnya kegiatan pembangunan shipyard merusak 1 hektare hutan bakau maka perusahaan yang bersangkutan harus menanam bakau baru seluas 2 hektare di tempat lain," kata Dendi.(gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar