Selasa, 12 Februari 2013

Kondisi Mangrove Batam Menguatirkan


BATAM – Sekitar 80 persen Hutan Bakau atau Mangrove di Pulau Batam atau seluas 3.680 hektare dalam kondisi memprihatinkan, rusak disebabkan alih fungsi lahan dan  lemahnya penegakan hukum lingkungan. Itu menyebabkan ekosistem terganggu serta merusak habitat biota laut.

Ketua Audit Lingkungan Sedunia, Ali Maskur Musa mengatakan, kondisi hutan bakau atau Mangrove di Pulau Batam sudah sangat menguatirkan karena sebagian besar atau 80 persen rusak disebabkan berbagai faktor antara lain, alih fungsi lahan untuk kawasan industri, perkantoran dan perumahan serta kegiatan masyarakat yang menjadikan pohon mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang, lemahnya penegakan hukum dan lambatnya pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) oleh Pemerintah Kota maupun Pemerintah Provinsi.

“Harus ada langkah kongkrit dari Pemerintah daerah untuk menyelamatkan hutan bakau di Batam sebab jika tidak maka kerusakan ekosistem akan semakin parah yang pada akhirnya nanti menyebabkan punahnya beberapa species mahkluk hidup sehingga akan memutuskan rantai makanan,” katanya di Batam, Senin (19/11).

Sebagaimana diketahui, luas daratan Pulau Batam 415 kilometer persegi atau sekitar 400.000 hektare (Ha) yang terdiri dari kawasan hutan 23.430 hekatre atau sekitar 58,57 persen dari total daratan dan 20 persennya atau 4.600 hektare adalah hutan bakau. Jika 80 persen hutan bakau tersebut rusak berarti luasnya mencapai 3.680 hektare.

Untuk menyelamatkan hutan bakau tersebut selain dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih pro pada lingkungan, peran aktif masyarakat juga dituntut untuk menjaga hutan tersebut. Selain itu, pengusaha juga harus sadar dan lebih peka terhadap lingkungan dengan tidak menjadikan kawasan hutan bakau sebagai daerah industri.

Walikota Batam mengakui telah terjadi alih fungsi lahan hutan bakau untuk kebutuhan industri khususnya industri galangan kapal yang sebagian besar terletak di kawasan Tanjung Uncang. Oleh karena itu hutan bakau yang rusak sebagian besar berada di kawasan Tanjung Uncang.  Sedangkan di kawasan lain diduga disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang menjadikan bakau sebagai bahan baku pembuatan arang.

“Pengusaha yang membuka pabriknya di sekitar areal hutan bakau telah diwajibkan untuk menanam kembali bakau sebanyak dua kali lipat dari luas area yang dijadikan lokasi pabrik dan tempat penanamanya dilakukan di kawasan lain sehingga luas hutan bakau di Batam tidak berkurang atau tetap,” kata Dahlan.
Menurutnya, Pemko Batam tetap konsisten pada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang mewajibkan Pemerintah untuk menyediakan 32 persen daerahnya untuk kawasan hijau atau hutan.

Sementara itu, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam, Dendi N Purnomo mengatakan, kondisi Hutan Bakau di Batam memang sudah sangat menguatirkan bahkan luasnya diduga tidak lagi 20 persen tetapi sudah menyusut menjadi hanya 4,0 persen.

"Berdasarkan catatan yang kami miliki pada tahun 1990 luas hutan mangrove 19 persen dan saat ini tinggal 4 persen," katanya.

Faktor utama penyebab rusaknya hutan bakau di Batam adalah kegiatan pembangunan. Mulai dari pembangunan kawasan industri, shipyard atau galang kapal, kompleks perumahan dan kegiatan pembangunan lainnya.

Pemko Batam, katanya telah melakukan langkah antisipasi dengan mengeluarkan Peraturan walikota untuk melindungi hutan bakau. Dalam peraturan itu, setiap kegiatan yang merusak hutan bakau maka pengembang atau perusahaannya diwajibkan menanam mangrove baru seluas dua kali lipat dari hutan yang telah dirusak.

"Misalnya kegiatan pembangunan shipyard merusak 1 hektare hutan bakau maka perusahaan yang bersangkutan harus menanam bakau baru seluas 2 hektare di tempat lain," kata Dendi.(gus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar