Sudah
saatnya Indonesia memanfaatkan potensi ekonomi yang dimiliki Selat Malaka
dengan membangun sejumlah kota pelabuhan di pesisir Sumatra seperti di Pulau Sabang,
Provinsi Aceh dan Batam di Provinsi Kepri. Kota pelabuhan tersebut harus
dilengkapi dengan infrastruktur pelabuhan bertaraf internasional agar kapal
asing yang melintasi Selat Malaka yang biasa singgah di Singapura dan Johor berpindah
singgah di pelabuhan Indonesia.
Pelabuhan Sabang di Provinsi Aceh, sebenarnya sudah
lama dikenal oleh dunia luar dan sangat berperan penting pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda khususnya sebagai pelabuhan alam yang
melayani pelayaran international untuk mendukung aktivitas perdagangan
komoditi dengan negara-negara Eropa masa itu. Pelabuhan itu menjadi penting karena letaknya
sangat strategis berada di Selat Malaka sebagai jalur lalulintas pelayaran
internasional (international shipping line) tersibuk di dunia, sehingga
menjadikan posisi Sabang begitu sentral sebagai pintu gerbang arus masuk barang
dan jasa dari dalam dan ke luar negeri melintasi Selat Malaka.
Roda perekonomian di Sabang meredup pasca ditutupnya pelabuhan bebas atau Freeport sekitar tahun 1985. Akibatnya, kawasan Sabang seperti mati suri dan menjadi kawasan tertutup dari dunia luar. Sabang kembali mulai diperhitungkan pada 1993 dengan dibentuknya kerjasama ekonomi regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Trianggle (IMT-GT). Lalu pada pada tahun 1998, Pemerintah menetapkan Kawasan Sabang sebagai Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan Kepres No 171 tahun 1998. Ketika Presiden dijabat Abdurrahman Wahid, Pemerintah lantas mencanangkan Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dengan terbitnya UU No.37 Tahun 2000.
Roda perekonomian di Sabang meredup pasca ditutupnya pelabuhan bebas atau Freeport sekitar tahun 1985. Akibatnya, kawasan Sabang seperti mati suri dan menjadi kawasan tertutup dari dunia luar. Sabang kembali mulai diperhitungkan pada 1993 dengan dibentuknya kerjasama ekonomi regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Trianggle (IMT-GT). Lalu pada pada tahun 1998, Pemerintah menetapkan Kawasan Sabang sebagai Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dengan Kepres No 171 tahun 1998. Ketika Presiden dijabat Abdurrahman Wahid, Pemerintah lantas mencanangkan Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dengan terbitnya UU No.37 Tahun 2000.
Meski pemerintah telah membuka kembali Sabang
sebagai kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas dengan berbagai regulasi yang
menyertainya, namun kawasan ini masih belum bangun juga dari tidur panjangnya.
Sepertihalnya Sabang, Pemerintah juga membangun
kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas di Pulau Batam. Bedanya dengan Sabang,
Batam saat ini sudah tumbuh sebagai kawasan industri dan pelabuhan serta
perdagangan yang cukup maju di tingkat nasional. Tapi ditingkat regional apalagi
internasional, Batam masih tertinggal jauh. Misalnya dibanding dengan kota
pelabuhan di Johor Malaysia, maka Batam tertinggal 10 tahun padahal kawasan
industri Iskandaryah di Johor awalnya belajar dari Batam tetapi saat ini
kawasan pealabuhan tersebut sudah tumbuh menyaingi Singapura.
Wakil Ketua Kadin Kepri, Abdulah Gosse mengatakan, masih
banyak kendala yang menyebabkan Batam maupun Sabang belum tumbuh seperti yang
diharapkan untuk dapat bersaing dengan Singapura maupun Johor Malaysia. Antara
lain, belum maksimalnya pemerintah mengelola kawasan tersebut dan minimnya
investasi yang dikucurkan untuk membangun infrastruktur di kawasan itu.
Sementara, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Kepri, Ir Cahya mengatakan, kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam bisa
tumbuh dengan cepat jika pemerintah pusat mau memberikan kewenanganya secara
penuh kepada otoritas di daerah ini khusunsya kepada Dewak Kawasan yang
dibentuk memang untuk mengelola kawasan tersebut. Selain itu,
“Dewan Kawasan FTZ tumpul sehingga tidak dapat
mengambil tindakan apapun untuk mengelola kawasan, untuk itu Pemerintah Pusat
harus mendelegasikan kewenangannya secara penuh kepada Dewan Kawasan agar
daerah ini bisa tumbuh lebih cepat,” katanya.
pemerintah juga mestinya mau berinvestasi untuk
membangun infrastruktur yang handal khususnya pelabuhan. Atau jika tidak, pemerintah
mestinya dapat memberi aturan yang cukup longgar bagi investor yang tertarik membangun
pelabuhan tersebut. Sebab jika aturan yang dibuat sangat ketat dan tidak
menguntungkan maka sulit untuk mendapatkan investor. Contohnya investor asal
Perancis yang dulu sudah tertarik membangun pelabuhan kargo internasional Batu
Ampar justru mundur karena aturan pemerintah yang dinilai terlalu kaku. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar