BATAM
– Masih adanya tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Kota dan Badan
Pengusahaan FTZ Batam (Otorita Batam) dinilai menjadi faktor penghambat pertumbuhan
ekonomi Batam.
Anggota DPD RI asal Kepri, Aida Ismeth Abdulah
mengatakan, hingga saat ini masih ada tumpang tindih kewenangan antara
Pemerintah Kota dan BP Batam seperti kewenangan untuk menarik beberapa pajak
dan retribusi daerah. Kondisi itu menyebabkan sumber penghasilan Pemko Batam
sangat terbatas sehingga sulit untuk membiayai berbagai proyek pembangunan.
“Meski tidak muncul kepermukaan, namun akan menjadi
bom waktu jika pertentangan kewenangan antara Pemko dan BP Batam tidak segera
diatasi,” katanya, Senin (20/8).
Menurutnya, sesuai dengan Undang Undang Otonomi
Daerah maka sudah seharusnya Pemerintah pusat memberi kewenangan penuh pada
Pemko Batam untuk mengelola daerah. Untuk itu, sebagian kewenangan yang masih
melekat pada BP Batam sudah saatnya diserahkan ke Pemko Batam.
“Pemko Batam mestinya mendapat bagian pendapatan
dari alokasi lahan sebagai sumber penghasil daerah,” katanya.
Sementara itu, Pengajar Universitas Internasional Batam yang juga pengamat
ekonomi Batam, Lagat Siadari mendesak Pemerintah Pusat untuk segera memperjelas
pembagian wewenang antara Badan Pengusahaan Batam (Otorita Batam) dan
Pemerintah Kota Batam, sebab praktiknya selama ini dinilai tidak jelas. Kondisi
itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi yang dikuatirkan berdampak
buruk pada iklim investasi.
“Hingga saat ini masih tumbuh persepsi ditengah masyarakat dan pengusaha Batam bahwa ada dualisme kepemimpinan, satu dipegang oleh Walikota Batam atau Pemerintah Kota Batam dan satu lagi Ketua Badan Pengusahaan Batam yang dulu bernama Otorita Batam. Kedua lembaga itu, dalam mengimplementasikan kebijakannya sering tidak sejalan sehingga menimbulkan kebingunan bagi masyarakat dan pengusaha,” katanya.
Dia mencontohkan, kebijakan soal pemeliharaan dan pembangunan jalan protokol. Pejabat BP Batam menyebut kebijakan tersebut sudah dialihkan pemerintah pusat ke Pemerintah Kota Batam sehingga BP Batam tidak lagi bertanggung jawab untuk melakukannya terlebih sudah tidak ada lagi anggaran yang dikucurkan Pemerintah pusat untuk membangun dan memelihara jalan. Sementara itu, Pejabat Pemko Batam menyebut bahwa tanggung jawab untuk membangun dan memelihara jalan masih dipegang oleh BP Batam. Kemudian soal kenaikan tariff air, BP Batam setuju untuk menaikan tariff air sedangkan Pemko Batam tidak setuju tariff air naik.
Kemudian dari segi perijinan investasi, banyak proses perijinan investasi yang dikelola BP Batam, itu menimbulkan kecemburuan Pemko Batam karena tidak sejalan dengan Undang Undang Otonomi Daerah.
Menurut Lagat Siadari, pemerintah pusat harus segera mengakhiri dualisme kepemimpinan yang ada di Batam dengan mempertegas dan memperjelas wewenang dua lembaga tersebut supaya tak menimbulkan kebingunan, sebab jika kondisi itu terus terjadi dikuatirkan berdampak buruk pada iklim investasi sehingga Batam tidak dapat bersaing dengan daerah tujuan investasi lainnya di dunia.
"Pemerintah harus belajar dari pengalama-pengalaman sebelumnya, kenapa perusahan tutup dan hengkang dari Batam karena tidak ada kepastian hokum dan birokrasi yang rumit," katanya.
Ditambahkan, kepastian hukum di Batam saat ini masih dipertanyakan pengusaha, oleh karenanya pemerintah pusat mesti responsif dan bertindak cepat sebelum banyak perusahaan yang pindah atau relokasi. (gus).
“Hingga saat ini masih tumbuh persepsi ditengah masyarakat dan pengusaha Batam bahwa ada dualisme kepemimpinan, satu dipegang oleh Walikota Batam atau Pemerintah Kota Batam dan satu lagi Ketua Badan Pengusahaan Batam yang dulu bernama Otorita Batam. Kedua lembaga itu, dalam mengimplementasikan kebijakannya sering tidak sejalan sehingga menimbulkan kebingunan bagi masyarakat dan pengusaha,” katanya.
Dia mencontohkan, kebijakan soal pemeliharaan dan pembangunan jalan protokol. Pejabat BP Batam menyebut kebijakan tersebut sudah dialihkan pemerintah pusat ke Pemerintah Kota Batam sehingga BP Batam tidak lagi bertanggung jawab untuk melakukannya terlebih sudah tidak ada lagi anggaran yang dikucurkan Pemerintah pusat untuk membangun dan memelihara jalan. Sementara itu, Pejabat Pemko Batam menyebut bahwa tanggung jawab untuk membangun dan memelihara jalan masih dipegang oleh BP Batam. Kemudian soal kenaikan tariff air, BP Batam setuju untuk menaikan tariff air sedangkan Pemko Batam tidak setuju tariff air naik.
Kemudian dari segi perijinan investasi, banyak proses perijinan investasi yang dikelola BP Batam, itu menimbulkan kecemburuan Pemko Batam karena tidak sejalan dengan Undang Undang Otonomi Daerah.
Menurut Lagat Siadari, pemerintah pusat harus segera mengakhiri dualisme kepemimpinan yang ada di Batam dengan mempertegas dan memperjelas wewenang dua lembaga tersebut supaya tak menimbulkan kebingunan, sebab jika kondisi itu terus terjadi dikuatirkan berdampak buruk pada iklim investasi sehingga Batam tidak dapat bersaing dengan daerah tujuan investasi lainnya di dunia.
"Pemerintah harus belajar dari pengalama-pengalaman sebelumnya, kenapa perusahan tutup dan hengkang dari Batam karena tidak ada kepastian hokum dan birokrasi yang rumit," katanya.
Ditambahkan, kepastian hukum di Batam saat ini masih dipertanyakan pengusaha, oleh karenanya pemerintah pusat mesti responsif dan bertindak cepat sebelum banyak perusahaan yang pindah atau relokasi. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar