Kompetisi perbankan di tanah air
semakin marak tidak hanya antar bank nasional tetapi juga sudah melibatkan bank
asing yang rata rata telah memiliki infrastruktur canggih. Untuk itu, bank
dituntut untuk lebih fokus pada market
dan produk agar dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk memberi layanan
maksimal pada nasabah.
Industri perbankan di tanah air dari tahun ke tahun semakin bertumbuh membuat
peta persainganya semakin ketat seiring masuknya sejumlah bank asing seperti Temasek Holding dari Singapura, Khazanah Nasional Bhd dari
Malaysia, ANZ dari Australia, Standard Chartered Bank, HSBC, Barclays yang
berasal dari Inggris, Rabobank dari Belanda, Texas Pacific dan Mercy Corp dari Amerika
serikat, ICBC dari China, State Bank of India dari India, Tokyo Mitsubishi dari
Jepang dan IFC dari Korea Selatan serta Kuwait Finance House (KFH) dengan
kepemilikan saham terbesar di sejumlah bank Nasional.
Direktur Centre for Banking Crisis Achmat Deni Daruri mengatakan, masuknya
bank asing secara langsung maupun dengan cara memiliki saham di perbankan
nasional tidak perlu ditakuti secara berlebihan. Kondisi itu mestinya menjadi
pemicu bagi perbankan nasional untuk meningkatkan kinerja dan layananya untuk dapat
bersaing secara sehat dengan bank asing tersebut.
Bank Indonesia sebagai regulator juga tidak perlu bertindak berlebihan
dengan membatasi operasional bank asing di dalam negeri, karena yang paling penting
bagaimana keberadaan industri perbankan baik itu bank asing ataupun bank
nasional bisa memberi keuntungan pada nasabah dan perekonomian nasional.
“Bank mestinya bisa lebih fokus agar sumber daya yang ada bisa dimaksimalkan
sehingga dapat membangun infrastruktur dan dapat memberi layanan maksimal pada
nasabah,” katanya kepada Koran Jakarta, Jumat (7/9).
Menurut Deni, di era globalisasi saat ini yang terpenting adalah bagaimana
bank bisa menciptakan efisiensi serta mampu memberi layanan yang terbaik bagi
nasabah. Perbankan nasional hingga saat ini dinilai belum memperhatikan hal
itu, contohnya bank yang mengandalkan pemasukanya pada sector kredit, ironisnya
belum membangun infrastruktur seperti IT dan informasi market yang komprehensif
pada nasabahnya.
Akibatnya, banyak nasabah yang kesulitan mengakses informasi kredit dari
bank tersebut sehingga mereka lebih memlih bank asing untuk mendapatkan kredit,
karena selain mudah diperoleh, bunganya juga cukup bersaing. Hal itu, tentu
saja menjadi pekerjaan rumah bagi perbankan nasional untuk segera membenahi
infrastruktur untuk menunjang layananya pada nasabah.
Persaingan antar bank saat ini tidak lagi di wilayah sektor funding, tetapi sudah bergeser ke investment grade, dipicu oleh kondisi
perekonomian nasional yang terus membaik. Pelaku perbankan pun turut
berlomba memanfaatkan momentum itu melalui potensi aliran dana investor dalam
menciptakan produk-produk perbankan. Bank Indonesia mulai mengevaluasi kinerja
perbankan, khususnya dari sisi Loan to Deposit Ratio (LDR).
“Kondisi perbankan di Indonesia
sekarang ini makan menantang, apalagi setelah saat ini memasuki era Investment Grade tahap kedua yang mana
tahap pertama sudah dimulai sejak zaman Soeharto sebelum krisis keuangan melanda,”
kata Taufik, Chief Business Officer MarkPlus.
Perbankan sebenarnya bisa memanfaatkan kondisi membaiknya perekonomian
nasional untuk mendongkrak modal. Itu perlu dilakukan karena penguatan modal
bermanfaat strategis untuk membentengi bank dari beraneka jenis risiko, baik
risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, maupun risiko likuiditas. Yang
jelas, level investment grade akan banyak membantu perbankan nasional
dalam memenuhi kebutuhan likuiditas valuta asing (valas) dan menekan potensi
risiko likuiditas valas pada 2012, mengingat kebutuhan akan likuidasi valas di
Indonesia saat ini sedang terbatas.
Namun tidak mudah bagi bank untuk menguatkan modalnya karena itu berarti
harus bertarung dengan bank lain untuk mendapatkan nasabah.
Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto mengatakan, salah satu hal yang
harus diperhatikan bank untuk dapat bersaing adalah suku bunga kredit. Suku bunga
kredit perbankan saat ini dinilai masih sangat tinggi kondisi itu menyebabkan
sejumlah pengusaha mencari pembiayaan dari bank asing yang memberikan suku
bunga rendah.
“Perbankan nasional harus menurunkan suku bunga kredit komersial hingga di
bawah 10 persen agar perusahaan di dalam negeri bisa lebih kompetitif dan
pengusaha juga tak perlu lagi mencari pembiayaan lewat bank asing,” katanya.
Ketua Perbanas Sigit Pramono menyadari tingginya suku bunga masih menjadi
kendala bagi bank untuk menyalurkan kredit, ditambah lagi dengan kondisi sektor
rill yang masih belum mampu lari kencang karena persoalan buruknya
infrastruktur, kekurangan pasokan energi, listrik, kepastian hukum, dan
peraturan ketenagakerjaan yang meningkatkan risiko bisnis di tanah air.
Selain kesulitan menyalurkan kredit, perbankan nasional juga
masih menghadapi kendala lain seperti buntunya pengawasan perbankan dan OJK
karena tertahan persoalan-persoalan politik. Kebijakan Bank Indonesia masih
dianggap belum mendukung kebutuhan kalangan perbankan karena sejumlah kalangan
perbankan masih berpikir bahwa peraturan yang ada sekarang ini belum membuka peluang
bagi pertumbuhan bank.
lalu, soal pengaturan keuntungan perbankan yang seharusnya menjadi intensif
ekonomi atau daya tarik dan motivasi pengusaha untuk berbisnis. Di Indonesia
justru keuntungan perbankan masih menjadi bagian dari hal-hal yang diregulasi
pemerintah dan seharusnya itu tidak perlu.
Meski menghadapi sejumlah tantangan, namun peluang untuk
meraih keuntungan di industri perbankan di tanah air juga tinggi seiring jumlah
penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Alhasil, sejumlah bank nasional mencatat pertumbuhan laba dan pendapatan pada
semester pertama tahun ini.
PT Bank Internasional Indonesia Tbk contohnya membukukan laba
bersih setelah pajak dan kepentingan non-pengendali (PATAMI) sebesar 592 miliar
rupiah naik 61 persen disbanding periode
sama tahun lalu yang 367 miliar rupiah. Perolehan itu merupakan yang tertinggi
sejak 1997.
Peningatan kinerja ini terutama didukung oleh pertumbuhan
yang kuat pada bisnis inti Bank, meningkatan kualitas aset dan perbaikan
kinerja keseluruhan sistem operasional Bank.
Presiden Direktur BII, Dato’ Khairussaleh Ramli mengatakan, Total
aset BII kini telah melampaui angka 100 triliun ruupiah, yaitu sebesar 102,0
triliun rupiah. BII juga berhasil mencapai dua digit annualized ROE yaitu
sebesar 15,72 persen yang merupakan pencapaian pertama kalinya sejak 1997.
Peningkatan kinerja ini menunjukkan bahwa perjalanan panjang dan upaya manajemen
dalam meraih kembali momentum pertumbuhan telah menunjukkan hasil.
“Saya yakin bahwa rencana pertumbuhan berkelanjutan pada
seluruh segmen bisnis akan lebih meningkatkan kinerja Bank sekaligus terus
memperluas pangsa pasar dengan tetap menjaga kualitas aset dengan baik. Untuk itu kami akan terus memastikan
standar yang tinggi pada manajemen risiko, tata kelola perusahaan dan
praktik perbankan yang prudent untuk menjaga tingkat kesehatan Bank.” Katanya.
Sementara itu, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mencatatkan laba
bersih 7,147 triliun rupiah pada semester satu ini naik 13 persen dibanding periode
sama tahun lalu yang 6,323 triliun rupiah. Kenaikan ditopang oleh pendapatan
bunga bersih dan premi perseroan yang tumbuh 22,9 persen dari 11,2 triliun rupiah
menjadi 13,7 triliun rupiah.
Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini, menjelaskan fee based
income sempat tertekan 7,2 persen dari 6,177 triliun rupiah menjadi 5,73 triliun rupiah. Itu disebabkan penurunan keuntungan dari surat
berharga. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar