Kamis, 18 Oktober 2012

Bank Harus Lebih Fokus




Kompetisi perbankan di tanah air semakin marak tidak hanya antar bank nasional tetapi juga sudah melibatkan bank asing yang rata rata telah memiliki infrastruktur canggih. Untuk itu, bank dituntut untuk lebih fokus pada market dan produk agar dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk memberi layanan maksimal pada nasabah.

Industri perbankan di tanah air dari tahun ke tahun semakin bertumbuh membuat peta persainganya semakin ketat seiring masuknya sejumlah bank asing seperti Temasek Holding dari Singapura, Khazanah Nasional Bhd dari Malaysia, ANZ dari Australia, Standard Chartered Bank, HSBC, Barclays yang berasal dari Inggris, Rabobank dari Belanda, Texas Pacific dan Mercy Corp dari Amerika serikat, ICBC dari China, State Bank of India dari India, Tokyo Mitsubishi dari Jepang dan IFC dari Korea Selatan serta Kuwait Finance House (KFH) dengan kepemilikan saham terbesar di sejumlah bank Nasional.

Direktur Centre for Banking Crisis Achmat Deni Daruri mengatakan, masuknya bank asing secara langsung maupun dengan cara memiliki saham di perbankan nasional tidak perlu ditakuti secara berlebihan. Kondisi itu mestinya menjadi pemicu bagi perbankan nasional untuk meningkatkan kinerja dan layananya untuk dapat bersaing secara sehat dengan bank asing tersebut.

Bank Indonesia sebagai regulator juga tidak perlu bertindak berlebihan dengan membatasi operasional bank asing di dalam negeri, karena yang paling penting bagaimana keberadaan industri perbankan baik itu bank asing ataupun bank nasional bisa memberi keuntungan pada nasabah dan perekonomian nasional.

“Bank mestinya bisa lebih fokus agar sumber daya yang ada bisa dimaksimalkan sehingga dapat membangun infrastruktur dan dapat memberi layanan maksimal pada nasabah,” katanya kepada Koran Jakarta, Jumat (7/9).

Menurut Deni, di era globalisasi saat ini yang terpenting adalah bagaimana bank bisa menciptakan efisiensi serta mampu memberi layanan yang terbaik bagi nasabah. Perbankan nasional hingga saat ini dinilai belum memperhatikan hal itu, contohnya bank yang mengandalkan pemasukanya pada sector kredit, ironisnya belum membangun infrastruktur seperti IT dan informasi market yang komprehensif pada nasabahnya.

Akibatnya, banyak nasabah yang kesulitan mengakses informasi kredit dari bank tersebut sehingga mereka lebih memlih bank asing untuk mendapatkan kredit, karena selain mudah diperoleh, bunganya juga cukup bersaing. Hal itu, tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi perbankan nasional untuk segera membenahi infrastruktur untuk menunjang layananya pada nasabah.

Persaingan antar bank saat ini tidak lagi di wilayah sektor funding, tetapi sudah bergeser ke investment grade, dipicu oleh kondisi perekonomian nasional yang terus membaik.  Pelaku perbankan pun turut berlomba memanfaatkan momentum itu melalui potensi aliran dana investor dalam menciptakan produk-produk perbankan. Bank Indonesia mulai mengevaluasi kinerja perbankan, khususnya dari sisi Loan to Deposit Ratio (LDR). 

 “Kondisi perbankan di Indonesia sekarang ini makan menantang, apalagi setelah saat ini memasuki era Investment Grade tahap kedua yang mana tahap pertama sudah dimulai sejak zaman Soeharto sebelum krisis keuangan melanda,” kata Taufik, Chief Business Officer MarkPlus.

Perbankan sebenarnya bisa memanfaatkan kondisi membaiknya perekonomian nasional untuk mendongkrak modal. Itu perlu dilakukan karena penguatan modal bermanfaat strategis untuk membentengi bank dari beraneka jenis risiko, baik risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, maupun risiko likuiditas. Yang jelas, level investment grade akan banyak membantu perbankan nasional dalam memenuhi kebutuhan likuiditas valuta asing (valas) dan menekan potensi risiko likuiditas valas pada 2012, mengingat kebutuhan akan likuidasi valas di Indonesia saat ini sedang terbatas.

Namun tidak mudah bagi bank untuk menguatkan modalnya karena itu berarti harus bertarung dengan bank lain untuk mendapatkan nasabah.
Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto mengatakan, salah satu hal yang harus diperhatikan bank untuk dapat bersaing adalah suku bunga kredit. Suku bunga kredit perbankan saat ini dinilai masih sangat tinggi kondisi itu menyebabkan sejumlah pengusaha mencari pembiayaan dari bank asing yang memberikan suku bunga rendah.

“Perbankan nasional harus menurunkan suku bunga kredit komersial hingga di bawah 10 persen agar perusahaan di dalam negeri bisa lebih kompetitif dan pengusaha juga tak perlu lagi mencari pembiayaan lewat bank asing,” katanya.

Ketua Perbanas Sigit Pramono menyadari tingginya suku bunga masih menjadi kendala bagi bank untuk menyalurkan kredit, ditambah lagi dengan kondisi sektor rill yang masih belum mampu lari kencang karena persoalan buruknya infrastruktur, kekurangan pasokan energi, listrik, kepastian hukum, dan peraturan ketenagakerjaan yang meningkatkan risiko bisnis di tanah air.

Selain kesulitan menyalurkan kredit, perbankan nasional juga masih menghadapi kendala lain seperti buntunya pengawasan perbankan dan OJK karena tertahan persoalan-persoalan politik. Kebijakan Bank Indonesia masih dianggap belum mendukung kebutuhan kalangan perbankan karena sejumlah kalangan perbankan masih berpikir bahwa peraturan yang ada sekarang ini belum membuka peluang bagi pertumbuhan bank.

lalu, soal pengaturan keuntungan perbankan yang seharusnya menjadi intensif ekonomi atau daya tarik dan motivasi pengusaha untuk berbisnis. Di Indonesia justru keuntungan perbankan masih menjadi bagian dari hal-hal yang diregulasi pemerintah dan seharusnya itu tidak perlu.
 
Meski menghadapi sejumlah tantangan, namun peluang untuk meraih keuntungan di industri perbankan di tanah air juga tinggi seiring jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil. Alhasil, sejumlah bank nasional mencatat pertumbuhan laba dan pendapatan pada semester pertama tahun ini.
 
PT Bank Internasional Indonesia Tbk contohnya membukukan laba bersih setelah pajak dan kepentingan non-pengendali (PATAMI) sebesar 592 miliar  rupiah naik 61 persen disbanding periode sama tahun lalu yang 367 miliar rupiah. Perolehan itu merupakan yang tertinggi sejak 1997.  
 
Peningatan kinerja ini terutama didukung oleh pertumbuhan yang kuat pada bisnis inti Bank, meningkatan kualitas aset dan perbaikan kinerja keseluruhan sistem operasional Bank.
 
Presiden Direktur BII, Dato’ Khairussaleh Ramli mengatakan, Total aset BII kini telah melampaui angka 100 triliun ruupiah, yaitu sebesar 102,0 triliun rupiah.  BII juga berhasil mencapai dua digit annualized ROE yaitu sebesar 15,72 persen yang merupakan pencapaian pertama kalinya sejak 1997. Peningkatan kinerja ini menunjukkan bahwa perjalanan panjang dan upaya manajemen dalam meraih kembali momentum pertumbuhan telah menunjukkan hasil.
 
“Saya yakin bahwa rencana pertumbuhan berkelanjutan pada seluruh segmen bisnis akan lebih meningkatkan kinerja Bank sekaligus terus memperluas pangsa pasar dengan tetap menjaga kualitas aset dengan baik.  Untuk itu kami akan terus memastikan  standar yang tinggi pada manajemen risiko, tata kelola perusahaan dan praktik perbankan yang prudent untuk menjaga tingkat kesehatan Bank.” Katanya.
 
Sementara itu, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mencatatkan laba bersih 7,147 triliun rupiah pada semester satu ini naik 13 persen dibanding periode sama tahun lalu yang 6,323 triliun rupiah. Kenaikan ditopang oleh pendapatan bunga bersih dan premi perseroan yang tumbuh 22,9 persen dari 11,2 triliun rupiah menjadi 13,7 triliun rupiah.

Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini, menjelaskan fee based income sempat tertekan 7,2 persen dari 6,177 triliun rupiah menjadi  5,73 triliun rupiah.  Itu disebabkan penurunan keuntungan dari surat berharga. (gus).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar