Sebagai daerah perdagangan dan pelabuhan bebas, Batam menjadi surga peredaran produk impor. Tak hanya produk untuk menunjang kegiatan industri, produk konsumsipun beredar luas di kota ini, sehingga perlu dibatasi guna melindungi produk dalam negeri, jika perlu melakukan tindakan pengamanan atau safeguards sepertihalnya yang dilakukan negara lain.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Kepala BPOM, DR Lucky S Slamet Msc ketika melakukan kunjungan kerja ke Batam, Senin (23/7) terkejut melihat maraknya peredaran produk impor di Batam. Keterkejutan mereka bertambah ketika ratusan merek produk impor yang dijual dipasaran tersebut tidak memiliki ijin edar dan tidak memiliki label ML (Makanan atau Minuman Luar).

Alhasil, sekitar 950 item produk impor disita untuk dilakukan pemberkasan atau projustusia sesuai ketentuan yang berlaku, selanjutnya akan dimusnahkan. Diantara produk yang disita merupakan merek terkenal seperti minuman energy REDBULL dari Thailand, Susu MILO asal Malaysia, aneka susu, saos dan merek lainnya. Selain makanan dan minuman, BPOM juga menyita puluhan merek kosmetika impor yang ternyata di dalam kandunganya terdapat bahan berbahaya bagi kesehatan manusia.

"BPOM melakukan pengawasan dengan cara menilai kemaanan, mutu, dan gizi dari produk yang diperjualbelikan termasuk produk impor. Meskipun merek produknya sama, tetapi bila tidak ada ijin dari BPOM maka tidak bisa dijamin keamanan produk tersebut sehingga harus dimusnahkan,” katanya.

Menurut Lucky,  seluruh produk impor yang masuk ke Indonesia termasuk Batam harus sesuai dengan prosedur dan standar yang berlaku yakni ketentuan K3L (K3L (keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan). Itu perlu dilakukan untuk melindungi konsumen di tanah air.
Lucky menilai, banyaknya barang ilegal yang masuk ke Batam merupakan ulah dari sebagian importir nakal yang hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan kesehatan masyarakat. Selain itu, lemahnya pengawasan dari berbagai instansi terkait dimanfaatka pengusaha untuk memasukan produk ilegal.

“Sekarang yang perlu disikapi adalah bagaimana masuknya barang tersebut ke Batam. Tidak mungkin barang tersebut masuk sendiri ke Batam kalau tidak ada yang memasukannya,” katanya.

Badan POM RI akan menindak tegas importir nakal yang mengedarkan barang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan saat ini terdapat satu importir di Batam yang sudah menjalani proses hukum atau projustisia.

“Kita tidak akan main-main jika menemukan ada yang mengedarkan barang tanpa ijin karena ini menyangkut nyawa dan kesehatan para konsumen, maka akan segera diproses secara hokum,” katanya.

Untuk melakukan pengawasan terhadap barang beredar di Batam, tim akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait guna melindungi konsumen dari produk yang tidak memenuhi persyaratan, termasuk produk obat dan makanan impor ilegal di wilayah perbatasan.

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang terkejut melihat maraknya produk impor dijual di Batam tanpa ijin edar mengatakan seluruh pihak mestinya dapat mengikuti peraturan yang ada. Terlebih saat ini hampir seluruh instansi pemerintah yang member ijin masuknya produk impor ke Batam sudah tersedia sehingga tidak perlu repot repot lagi mengurus ijin tersebut ke Jakarta.

“Telah ditemukan banyak produk belum memiliki ijin beredar di pulau Batam. Untuk itu, kami minta  dukungan dari pemerintah daerah untuk memprakarsai progres dan pemantauan produk ilegal ke depannya,” kata Gita.

Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi konsumen, menciptakan ilkim perdagangan yang sehat, dan mengamankan perdagangan dalam negeri. Untuk itu, seluruh produk yang beredar di tanah air harusnya memiliki standar nasional atau SNI, dan hal itu berlaku juga untuk daerah perdagangan dan pelabuhan bebas sepertihalnya Batam.

Pelaksana Tugas Kadin Batam, Alfan Suhaeri mengatakan, maraknya peredaran produk impor di Batam disebabkan kurangnya pengawasan oleh aparat pemerintah. Ditambah lagi banyaknya pelabuhan tidak resmi yang menjadi pintu masuk produk illegal tersebut.

“Aturan yang ada sebenarnya sudah bagus namun pengawasan kurang dan banyak aparat yang bermain mata dengan pengusaha sehingga produk illegal marak di Batam,” katanya.

Tidak hanya produk konsumsi, produk untuk menunjang kegiatan industripun justru lebih banyak, dan hal itu dimungkinkan karena sebagai daerah perdagangan dan pelabuhan bebas maka hal itu dituntut untuk menunjang investasi dan industry di kawasan itu.

Terlebih sebagai anggota WTO (World trade organization), Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus hambatan perdagangan antar negara.

Meski demikian, kata Alfan tidak semestinya pemerintah memberi keleluasan secara penuh pada produk impor untuk menguasai pasar dalam negeri, karena banyak negara bahkan negara maju seperti Amerika Serikat melakukan tindakan pengamanan atau Safeguards terhadap produk dalam negeri mereka sendiri. Untuk itu, Pemerintah harus menerapkan hal yang sama untuk melindungi produk lokal.

“Dengan adanya Safeguards maka secara tidak langsung bisa menghadang laju produk impor yang masuk ke dalam negeri dalam bentuk barang konsumsi maupun untuk keperluan industri manufaktur di kawasan industri.” Katanya.

Alfian mencontohkan, saat ini terdapat sekitar 20 industri pipa lokal yang memproduksi pipa untuk industri penunjang migas di Provinsi Kepri. Produk pipa baja produksi lokal tersebut sulit bersaing dengan pipa baja dari China karena harga pipa baja dari China relatif murah disebabkan pemerintah China member subsidi terhadap industry mereka.

Jika pemerintah tidak segera melindungi produk pipa baja lokal tersebut, maka dikuatirkan industri pipa baja nasional akan bangkrut dan pada akhirnya akan memberhentikan pekerjanya sehingga akan meningkatkan angka pengangguran.

Wakil Ketua Komite Pengamatan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementarian Perdagangan Taufik Mamppaenre saat berkunjung ke Batam awal pekan lalu dalam rangka sosialisasi tindakan pengamanan perdagangan mengatakan, tidak diharamkan bagi Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan safeguards meskipun Indonesia menjadi anggota WTO. Pasalnya, negara lain juga memberlakukan hal yang sama.

Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), selama tahun 1995-2011 terdapat 30 negara melakukan tindakan pengamanan untuk memproteksi kepentingan nasional masing-masing dari perdagangan yang tidak fair. Selama periode tersebut terdapat 108 tindakan pengamanan yang diimplementasikan. India dan Turki merupakan negara yang terbanyak menerapkan, dengan 12 tindakan, Cile menerapkan 7 tindakan, sementara Amerika Serikat dan Filipina masing-masing dengan 6 tindakan.

Sementara itu, Indonesia sudah melakukan 10 tindakan untuk melindungi produk lokal diantaranya produk keramik, paku, kawat bindrat, kawat seng, tali kawat baja, benang, kain tenun dari kapas, serta terpal atau awning atau kerai matahari.

Menurut Taufik, bentuk Safeguards yang diberlakukan pemerintah adalah dengan menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap 10 produk tersebut yang dianggap mengganggu produksi dalam negeri sepanjang 2004 sampai Juni 2012.

"'Safeguards' adalah suatu instrumen yang dapat digunakan oleh setiap negara anggota WTO untuk mengamankan produsen dalam negeri dari akibat yang ditimbulkan oleh kenaikan impor," katanya.

Dikatakan, jumlah produk yang bisa dilindungi bisa bertambah jika produsen dalam negeri memberi pengaduan merasa dirugikan atas peredaran produk impor. Berdasarkan aduan itu maka KPPI melakukan penyelidikan apakah kerugian serius yang diderita produsen dalam negeri memang diakibatkan oleh kenaikan volume impor.

Sepanjang 2004 sampai Juni 2012, KPPI menerima 28 aduan dari produsen dalam negeri. Aduan tersebut masih sedang diteliti dan bilamana terbukti kenaikan impor adalah merupakan penyebab kerugian yang dialami produsen dalam negeri, maka KPPI merekomendasikan agar pemerintah mengambil tindakan pengamanan berupa tambahan tarif bea impor atau pembatasan jumlah produk impor. (gus).