Jumat, 12 Oktober 2012

FTZ BBK Diyakini Mampu Bersaing

Kawasan FTZ BBK (Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun) di Provinsi Kepulauan Riau diyakini mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara tetangga Malaysia, Vietnam dan China karena potensi yang dimiliki seperti letak yang strategis, ketersediaan lahan yang cukup dan sumber daya manusia berlimpah. Duta Besar RI untuk Singapura, Abdul Hadi ketika berkunjung ke Tanjung Pinang beberapa waktu lalu mengatakan, FTZ BBK masih tetap menjadi andalan investasi nasional hingga saat ini dan diyakini mampu bersaing dengan kawasan industri lainnya di Asia Tenggara. "Saya yakin FTZ BBK mampu bersaing dengan kawasan sejenis di negara tetangga karena letaknya yang dekat dengan pusat perdagangan dunia, Singapura dan berada di jalur perdagangan tersibuk di dunia yakni Selat Malaka," katanya. Nilai lebih yang dimiliki FTZ BBK antara lain, ketersediaan lahan yang sangat luas dan sumber daya manusia (SDM) yang handal serta pasar yang sangat menarik. Jika dibandingkan dengan negara tetangga maka hal itu sangat berbeda jauh. Untuk itu, KBRI di Singapura terus berupaya mempromosikan BBK kepada investor di Singapura. KBRI di Singapura juga berperan aktif untuk mensinergikan hubungan antara Indonesia khususnya FTZ BBK dengan Singapura. Sinergi tersebut sangat penting mengingat peran Singapura cukup besar terhadap pertumbuhan investasi di BBK karena hingga saat ini sebagian besar investor yang menanamkan modalnya di BBK berasal dari Singapura. Singapura juga diyakini akan mengalami titik jenuh pada pertumbuhan ekonominya yang sedang maju pesat saat ini sehingga pada saatnya nanti akan mencari wilayah lain yang terdekat untuk mengalihkan sebagian industrinya disebabkan keterbatasan lahan. CEO Kawasan Industri Latrade Batam, Teo Pea Ngo mengatakan, FTZ BBK khususnya Batam pada satu sisi sangat bersaing dibanding Vietnam atau China. Sebagai contoh, upah minimum di China saat ini sudah mencapai 250 dollar AS per bulan atau sekitar 2,5 juta rupiah per bulan, sedangkan Thailand sekitar 200 dollar AS dan Vietnam relative sama dengan Indonesia sekitar 120 sampai 140 dollar AS per bulan. Kemudian, kualitas tenaga kerja Indonesia khususnya di BBK juga relatif lebih baik dibanding tenaga kerja di Vietnam atau Malaysia dan yang terpenting lagi ketersediaanya sangat cukup sedangkan Malaysia dan Vietnam tenaga kerjanya terbatas. . Namun, pada sisi lain daya saing Indonesia khususnya BBK masih dibawah Vietnam dan Malaysia serta China seperti pajak perusahaan atau pajak Badan yang dikenakan masih cukup besar yakni 30 persen. Padahal, Hongkong saja mengenakan pajak badan hanya 15 persen, Singapura 17 persen dan China 25 persen. Kemudian, regulasi di BBK dinilai banyak investor sering berubah ubah dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi investor dalam berusaha padahal, pengusaha biasanya membuat rencana bisnis setidaknya untuk jangka waktu lima atau 10 tahun. Jika regulasinya berubah setiap tahun maka pengusaha harus melakukan penyesuaian kembali. Menurut Teo, Pemerintah Indonesia mestinya belajar dari China yang member banyak kemudahan pada investor untuk masuk ke negaranya. Untuk itu berbagai insentif dan kemudahan berinvestasi di berikan kemudian pajak di rendahkan. Namun, ketika perusahaan tersebut sudah berhasil dalam beberapa tahun kemudian barulah pajak secara perlahan dinaikan. “Pemerintah Indonesia harus welcome terhadap investor asing, pajak harus lebih rendah dari negara lain, birokrasi harus efisien, pengurusan ijin harus dipercepat dan persyaratannya dipermudah sehingga investor bersedia menanamkan modalnya di BBK,” katanya. Menurut Teo, meski Batam saat ini memiliki banyak kelebihan disbanding kawasan lain di negara tetangga ironisnya belum banyak investor asing yang tertarik untuk menanamkan modalnya. Itu disebabkan pemerintah sendiri yang menghambatnya, contohnya saja untuk membuat perusahaan di Batam membutuhkan waktu paling sedikit 6 bulan dan terkadang bisa mencapai 3 tahun. Padahal di Singapura, Vietnam dan China hanya membutuhkan waktu paling lama dua minggu. Akibatnya, investor yang awalnya tertarik untuk membuat perusahaan dan menanamkan modalnya di Batam malah mengalihkan rencananya ke negara lain disebabkan lambatnya mengurus ijin. (gus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar