Manusia pada dasarnya tidak akan pernah tahu kejadian yang akan
menimpanya pada detik, menit atau jam dan hari kedepannya. Namun yang pasti
kejadian tersebut akan berdampak buruk atau baik pada dirinya. Jika dampaknya
baik tentu itu yang diharapkan tapi jika buruk, maka mestinya sudah ada antisipasi
agar dampak tersebut tidak sampai merusak rencana hidupnya.
Kondisi itu
akan selalu dialami manusia sejak jaman dulu hingga sekarang. Oleh karenanya, muncul
pepatah bijak “Sedia Payung Sebelum Hujan” yang artinya kurang lebih setiap
manusia berkewajiban untuk menjaga diri dan keluarga serta kerabatnya atas
dampak buruk yang mungkin saja terjadi dikemudian hari.
Pada masa
sekarang, antisipasi atau pengalihan risiko seperti itu disebut dengan Asuransi
sehingga mestinya, setiap orang memiliki polis asuransi untuk melindungi diri
dan keluarganya. Menurut Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) Republik Indonesia :
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dalam asuransi terkandung 4 unsur, pertama, tertanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur. Kedua, Pihak penanggung (insure) yang berjanji akan membayar sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tak tertentu.
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dalam asuransi terkandung 4 unsur, pertama, tertanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur. Kedua, Pihak penanggung (insure) yang berjanji akan membayar sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tak tertentu.
Ketiga, suatu peristiwa (accident)
yang tak terntentu (tidak diketahui sebelumnya) dan Keempat,
Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa yang tak tertentu.
Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa yang tak tertentu.
Konsultan
dan Perencana Keuangan di Batam, Rini Suwandi mengatakan, sebagian besar
masyarakat Indonesia saat ini masih alergi terhadap asuransi karena belum
mendapat pemahaman yang baik tentang asuransi. Padahal, manfaat asuransi sangat
besar sebagai sarana finansial dalam tata kehidupan rumah
tangga, baik dalam menghadapi risiko yang mendasar seperti risiko kematian,
atau dalam menghadapi risiko atas harta benda yang dimiliki.
“Kesadaran masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan asuransi masih sangat
rendah,” katanya.
Banyak faktor penyebab terjadinya kondisi demikian, antara lain tingkat
Kesejahteraan Masyarakat (Pendapatan yang Rendah) ditengah kondisi masyarakat
yang tingkat pendapatannya masih rendah, boleh jadi asuransi belum merupakan
sebuah kebutuhan, apalagi dianggap sebagai gaya hidup (life style).
Mereka yang belum sadar akan asuransi beranggapan masih banyak kebutuhan
lain yang lebih mendesak ketimbang menyisihkan sebagian penghasilan untuk
keperluan proteksi diri dan harta bendanya. Apalagi, jika mengharapkan
masyarakat memandang asuransi sebagai instrumen investasi, mungkin masih
terlalu jauh.
Banyak masyarakat yang tidak satu pun memiliki polis asuransi, kendati untuk
yang vital sekalipun, asuransi kesehatan misalnya, lalu asuransi untuk hari tua
atau dana pensiun. Alasannya karena penghasilan yang tak memadai. Hal ini
sangat ironis, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang begitu besarnya
mencapai 240 juta jiwa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 55 persen dari seluruh
rakyat Indonesia belum memiliki jaminan sosial. Adapun 45 persen atau sekitar 76
juta orang umumnya pegawai negeri dan swasta yang sudah memiliki jaminan
kesehatan masyarakat. Rinciannya, 16 juta orang memiliki Askes, 4 juta
mengantongi Jamsostek, 3 juta mempunyai asurasi komersial, dan 2 juta orang
anggota Jamkesda. Mereka yang telah terlindungi asuransi ternyata juga belum
lepas dari potensi masalah karena terdapat protection gap atau kesenjangan
proteksi yang signifikan.
Rini mengatakan, orang akan membeli polis asuransi jika pernah mengalami atau
merasakan kejadian yang menuntut dia untuk memiliki asuransi. Contohnya
kejadian yang menimpa salah satu kliennya yakni Bapak Hendra Gunawan, seorang
pedagang yang pernah tertimpa bencana ketika anaknya dirawat di rumah sakit.
Dokter mendiagnosa anaknya menderita kanker stadium satu dan harus mendapat
perawatan intensif. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi agar
kanker tidak menyebar. Cobaan yang cukup berat ini tentunya membuat Hendra shock
karena biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi cukup besar. Untuk itu,
Hendra terpaksa menjual rumahnya lalu mengontrak rumah lain untuk keluarganya.
“Kejadian yang menimpa Bapak Hendra tersebut sangat dramatis yang terpaksa
menjual rumah untuk operasi anaknya. Misal saja dia memiliki polis asuransi
maka risiko untuk pembiayaan anaknya bisa ditanggung oleh perusahaan asuransi
sehingga Bapak Hendra tidak perlu menjual rumahnya,” kata Rini. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar