Meski menjadi salah satu faktor produksi
penting yang memberi andil besar terhadap keuntungan perusahaan, nasib buruh
sering terabaikan sehingga setiap saat utamanya hari buruh internasional yang
jatuh pada 1 Mei buruh selalu berunjuk rasa menuntut kesejahteraan.
Sekretaris FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) KC Batam,
Suprapto mengatakan, hingga saat ini pengusaha atau perusahaan masih belum memberi
perhatian penuh terhadap kesejahteraan buruh atau pekerja. Itu terlihat dari
masih banyaknya perusahaan yang memberi gaji buruh dibawah upah minimum,
kemudian tidak adanya jaminan kesehatan dan Jamsostek serta tidak ada tunjangan
tempat tinggal dan makan. Ditambah lagi dengan system kerja outsourching yang
sangat melemahkan posisi tawar buruh terhadap perusahaan.
“Pemerintah harus mengevaluasi sistem kerja outsourching karena system tersebut
melemahkan posisi tawar para pekerja, kondisi itu juga yang menyebabkan para
buruh tidak sejahtera,” katanya, Selasa (8/5).
Sistem alih daya atau outsourcing meski sudah dilarang oleh Makamah
Konstitusi pada Januari lalu namun fakta di lapangan masih banyak dipakai oleh perusahaan
hingga saat ini. Padahal, putusan MK tersebut jelas mengatakan, pekerjaan yang
bersifat tetap, tidak bisa lagi dikerjakan lewat mekanisme outsourcing.
Pemerintah harus tegas untuk melarang sistem outsourcing sebab secara
keseluruhan aturan mengenai outsourcing tidak memihak kepada pekerja
seperti buruh. Mulai dari upah yang terlalu kecil, sampai dengan tingkat
kesejahteraan yang tidak ideal. Selain itu, pekerja juga tidak mendapat jaminan
sosial.
Oleh karenanya, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia( FSPMI) Batam akan
berunjuk rasa pada Kamis ini menuntut penghapusan sistem kerja outsourching.
Unjuk rasa tersebut rencananya diikuti hanya 200 massa dan jumlah yang lebih
besar akan dilakukan pada 20 mei mendatang dengan kekuatan sekitar 10 ribu
massa.
Ketua Kadin Batam, Nada Faza Soraya mengatakan, outsourcing
sebetulnya hanya untuk kepentingan bisnis
karena perusahaan tidak mau berisiko, hal ini dapat dipahami apabila
pengusaha membutuhkan outsourcing untuk kepentingan bisnisnya. Tetapi
di sisi lain, kaum pekerja atau buruh menjadi dilema dengan adanya outsourcing
dimana tidak ada kejelasan tentang jaminan sosial.
Menurutnya, pemerintah tidak mungkin menghapus aturan outsourcing karena
outsourcing merupakan sub kontrak yang keberadaannya ditentukan adanya
perubahan zaman. Bukan karena saat lahirnya outsourcing itu hanya pada
saat kondisi ekonomi kita sedang tidak baik, dan kalau sudah baik seperti
sekarang maka harus dihapuskan, tidak seperti itu. Tetapi kehadirannya
merupakan tuntutan zaman.
Hanya saja, baik perusahaan outsourcing-nya ataupun perusahaan yang
menggunakan jasanya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, diantaranya
aturan tenaga kerja. Sehingga, kalau semua sesuai aturan mainnya, maka tidak
akan lagi terjadi gap antara pengusaha dan buruh.
Selain itu, aturan mengenai outsourcing juga tidak mudah dihapus karena saat
ini ada ribuan, bahkan mungkin jutaan pekerja outsourcing yang berasal dari
berbagai macam vendor. Bila outsourcing
langsung dihapus berarti ada sekian banyak pula pekerja-pekerja dan karyawan
yang akan diputus kontrak, ini berarti akan memperbanyak jumlah pengangguran
yang ada.
Terlebih banyak perusahaan yang tidak dapat menerima atau menampung begitu
saja para pekerja outsource untuk menjadi karyawan tetap di perusahaan yang
bersangkutan. Sebab hal itu, dibutuhkan proses yang cukup memakan waktu untuk
bisa menstabilkan status para pekerja outsourcing menjadi karyawan tetap.
Yang paling penting dilakukan pemerintah saat ini adalah mengatur bagaimana
agar para pekerja outsourcing bisa mendapat perlakuan adil, baik dari segi
pendapatan maupun tunjangan yang berlaku, Realisasi dari kesejahteraan para
pekerja akan lebih baik maknanya bila benar-benar dicarikan solusi yang tepat
dan akurat. (gus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar