BATAM – Sejumlah investor asing mulai mempertanyakan
kenyamanan berbisnis di Batam menyusul seringnya aksi unjuk rasa buruh. Kondisi
itu memperburuk iklim investasi di Batam sehingga dikuatirkan investor yang
berniat menanamkan modalnya akan membatalkan rencana tersebut.
Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI)
Kota Batam, Oka Simatupang mengatakan, konflik hubungan industrial antara buruh
dan perusahaan di Batam sudah sangat menguatirkan karena frekuensinya terus
meningkat dan biasanya diakhiri dengan aksi unjuk rasa serta mogok kerja. kondisi
itu dikuatirkan akan mengancam potensi dan keberadaan investasi asing di Batam.
“Intensitas unjuk rasa dan mogok
kerja buruh terus meningkat dan mulai berdampak terhadap investasi asing dan
menambah pekerjaan kami setiap hari yang hanya menjawab keluhan dan pertanyaan
investor asing yang beroperasi di Batam terkait kondisi tersebut,” katanya,
Jumat (18/5).
Menurut Oka, sejumlah investor asing
banyak yang mengeluh dan mempertanyakan soal maraknya aksi unjuk rasa atau
mogok kerja yang sering dilakukan buruh beberapa waktu terakhir akibat
perselisihan hubungan industrial dengan pihak manajemen perusahaan. HKI juga banyak
menerima keluhan dari pengelola kawasan industry di Batam mempertanyakan
masalah yang sama.
Keluhan investor asing itu cukup
beralasan karena dalam beberapa bulan terakhir telah terjadi aksi unjuk rasa
dan mogok kerja di sejumlah perusahaan
seperti PT Unisem, Epson Toyocom,
Panasonic Shikoku, Nutune dan yang sedang berlangsung hingga kini di PT Varta
Microbattery Indonesia.
“Kami mendapat kabar bahwa beberapa investor
asing sudah menyiapkan opsi untuk merelokasi investasinya ke negara lain,
khususnya Malaysia dan Vietnam akibat seringnya aksi unjuk rasa dan mogok kerja
para buruh,” katanya.
Bila kondisi keamanan dan kenyamanan
di Batam tidak juga membaik dalam watu dekat, dikuatirkan para investor asing
tersebut akan merealisasikan rencananya untuk relokasi pabrik. hal itu akan
menimbulkan kerugian yang besar karena akan menambah tingkat pengangguran.
Oka berharap manajemen perusahaan
dan buruh harus mengevaluasi kondisi yang terjadi saat ini, sebab jika
kenyamanan dan keamanan di Batam sudah diragukan maka dikuatirkan akan
menimbulkan permasalahan yang lebih besar lagi terutama meningkatnya angka
pengangguran.
Sekretaris DPC SBSI Kota Batam, Surya Dharma Sitompul mengatakan, konflik
hubungan industrial yang sering terjadi di Kota Batam merupakan akibat dari
lemahannya sistem pengupahan nasional. Dalam lima tahun terakhir pembahasan
Upah Minimum Kota Batam selalu diwarnai aksi protes khususnya pada saat
penetapan besaran komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang merupakan embrio
sebelum menjadi rekomendasi besaran UMK itu sendiri.
Aksi-aksi protes seperti tahun-tahun sebelumnya terhadap hasil (Output)
sistem pengupahan yang ada sekarang ini, besar kemungkinan akan terulang
kembali yang tentunya sangat berdampak negatif terhadap perkembangan
perekonomian dan investasi di Kota Batam.
Menurutnya, ada persoalan mendasar mengenai sistem pengupahan nasional pada
saat ini. Dimana PERMEN No.17 tahun 2005 tentang Komponen Hidup Layak (KHL)
dinilai sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pekerja itu
sendiri. Kemudian juga diperlukannya perbaikan mekanisme survei dan ketiga,
sistem yang ada sekarang ini dinilai belum menganut dua prinsip dasar yaitu
keterbukaan dan keadilan.
Karena itu sudah saatnya semua pihak yang terkait atas sistem pengupahan
harus segera mencari jalan keluar atas polemik pengupahan yang setiap
tahun selalu bermasalah dan berpotensi menimbulkan aksi-aksi protes yang
berskala besar khususnya di Kota Batam. Salah satu caranya dengan memberikan
keleluasaan kepada Dewan Pengupahan Kota untuk menerapkan sistem atau metode
pengupahan yang benar-benar bisa digunakan untuk menyelesaikan kisruh
pengupahan yang terjadi selama ini. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar