TANJUNG PINANG – Lemahnya peran dan
fungsi Dewan Kawasan FTZ BBK (Batam, Bintan dan Karimun) dinilai menjadi
kendala utama yang menyebabkan belum berjalannya FTZ di kawasan tersebut,
sehingga pemerintah pusat merasa harus memberi keleluasan penuh kepada DK untuk
mengambil kebijakan.
Sekretaris Menteri Perekonomian Edi Abdul Haman mengatakan, Pemerintah pusat
menilai implementasi FTZ di BBK belum berjalan maksimal disebabkan masih banyak
kendala yang membuat investor asing enggan untuk menanamkan modalnya. Salah
satu kendalanya adalah, Dewan Kawasan FTZ BBK yang diketuai Gubernur Kepri, H.M
Sani belum bekerja maksimal dan dinilai jarang mengambil langkah strategis
untuk mencari solusi.
Oleh karenanya, Pemerintah pusat berjanji mencari solusi mengatasi masalah
yang terjadi di wilayah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone /FTZ)
Batam, Bintan dan Karimun. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah member keleluasan
penuh kepada DK mengambil langkah dan kebijakan strategis untuk mengembangkan
BBK.
“Dalam kunjungan Presiden SBY beberapa hari lalu ke Kepri terungkap bahwa
pelaksanaan FTZ di BBK belum berjalan maksimal untuk itu, Pemerintah pusat
berjanji telah berjanji akan menemukan solusinya dan salah satunya member keleluasan
kepada DK untuk mengambil kebijakan,” katanya di Tanjung Pinang, Kamis (24/5).
Upaya itu diambil Pemerintah Pusat agar, DK dapat berperan lebih aktif dan dapat
mensinergikan aturan yang ada di daerah dan di pusat sehingga pelaksanaan FTZ
di BBK nantinya tidak terkendala lagi dengan aturan yang ada di Pemerintah
pusat.
Sekretaris DK FTZ BBK, Jon Arizal mengatakan, solusi yang ditawarkan
Pemerintah pusat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil kunjungan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Batam belum lama ini. Dalam kunjungan itu,
SBY menerima pengaduan pemerintah daerah bersama DK dan BP kawasan FTZ yang menyimpulkan
penerapan FTZ hingga kini masih banyak kendala. Kendala itu seperti program
pengembangan kawasan masih banyak terkendala aturan pusat yang menyebabkan pengelolaannya
tidak berjalan sesuai rencana.
”Pusat akan memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya pada BP kawasan
melakukan pengembangan. Jika dalam pelaksanaan ada berseberangan dengan payung
hukum pusat, lembaga terkait akan mencari jalan keluar terbaik,” katanya.
Solusi lainnya adalah Pemerintah pusat akan membuat rencana aksi daerah
pengembangan kawasan FTZ dan salah satunya menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) kawasan FTZ, agar aktivitasnya berjalan maksimal.
Anggota DPR
RI yang berasal dari Kepri, Harry Azha Azis mengatakan, ada beberapa kendala
yang dihadapi Pemerintah dalam pengembangan FTZ di BBK, pertama,
masih tingginya impor bahan baku industri. Kontribusi industri pengolahan
terhadap PDRB Kepri 51,48 persen pada 2008 dan defisit neraca perdagangan 4,7 Miliar
Dollar AS pada 2008. Kedua, masih dominannya kapal asing dalam
bongkar muat ekspor impor mencapai 95 persen, akibatnya, arus devisa banyak
keluar dan merugikan penerimaan negara. Ketiga, belum
meratanya konsentrasi industri di wilayah BBK sehinga berpotensi membangun
ketimpagan antar wilayah. Keempat, peraturan FTZ tumpang
tindih dan banyak regulasi birokrasi mengatur arus barang dan jasa yang justru
bertentangan dengan prinsif FTZ. Peluang kolusi antara importir dan Bea dan
Cukai, pasar gelap (black market) cenderung berkembang.
Untuk mengoptimalkan FTZ BBK, kata Harry maka permasalahan dan kendala FTZ
harus segera diselesaikan. Optimalisasi peran FTZ perlu terus didorong agar
cita-cita sebagai pusat poertumbuhan ekonomi regional menjadi kenyataan.
Untuk lebih mengotimalkan peran FTZ BBK maka dibutuhkan kebijakan lanjutan antara
lain, Pertama adalah mengembangkan komponen barang-barang
modal dengan kemampuan dalam negeri. Daya dukung sumberdaya (endowment)
Indonesia sangat besar, sumber daya alam dan manusia. Dalam jangka panjang,
efek substitusi (substitution effect) dan efek income (income
effect) akan terjadi akibat pengurangan komponen biaya produksi.
Kedua, perlu mengembangkan infrastruktur maritim dengan
regulasi pendukung sehingga menunjang pelayaran dalam negeri. Ketiga,
Perlu perbaikaninfrastruktur darat dan pelabuhan agar konsentrasi industri di
kawasan BBK menyebar. Dukungan pemerintah pusat diperlukan seluruh kawasan
FTZ. Keempat, pemerintah pusat dan daerah harus makin
terbuka dan profesional sehingga checklist masalah dan key strategy
harus dijelaskan dengan transparan. Regulasi harus konsisten dengan perilaku
birokrasi agar tercipta kepastian hukum. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar