Minggu, 14 Oktober 2012

Peran Dewan Kawasan FTZ BBK Dinilai Lemah


TANJUNG PINANG – Lemahnya peran dan fungsi Dewan Kawasan FTZ BBK (Batam, Bintan dan Karimun) dinilai menjadi kendala utama yang menyebabkan belum berjalannya FTZ di kawasan tersebut, sehingga pemerintah pusat merasa harus memberi keleluasan penuh kepada DK untuk mengambil kebijakan.

Sekretaris Menteri Perekonomian Edi Abdul Haman mengatakan, Pemerintah pusat menilai implementasi FTZ di BBK belum berjalan maksimal disebabkan masih banyak kendala yang membuat investor asing enggan untuk menanamkan modalnya. Salah satu kendalanya adalah, Dewan Kawasan FTZ BBK yang diketuai Gubernur Kepri, H.M Sani belum bekerja maksimal dan dinilai jarang mengambil langkah strategis untuk mencari solusi.
Oleh karenanya, Pemerintah pusat berjanji mencari solusi mengatasi masalah yang terjadi di wilayah Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone /FTZ) Batam, Bintan dan Karimun. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah member keleluasan penuh kepada DK mengambil langkah dan kebijakan strategis untuk mengembangkan BBK.

“Dalam kunjungan Presiden SBY beberapa hari lalu ke Kepri terungkap bahwa pelaksanaan FTZ di BBK belum berjalan maksimal untuk itu, Pemerintah pusat berjanji telah berjanji akan menemukan solusinya dan salah satunya member keleluasan kepada DK untuk mengambil kebijakan,” katanya di Tanjung Pinang, Kamis (24/5).

Upaya itu diambil Pemerintah Pusat agar, DK dapat berperan lebih aktif dan dapat mensinergikan aturan yang ada di daerah dan di pusat sehingga pelaksanaan FTZ di BBK nantinya tidak terkendala lagi dengan aturan yang ada di Pemerintah pusat.

Sekretaris DK FTZ BBK, Jon Arizal mengatakan, solusi yang ditawarkan Pemerintah pusat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Batam belum lama ini. Dalam kunjungan itu, SBY menerima pengaduan pemerintah daerah bersama DK dan BP kawasan FTZ yang menyimpulkan penerapan FTZ hingga kini masih banyak kendala. Kendala itu seperti program pengembangan kawasan masih banyak terkendala aturan pusat yang menyebabkan pengelolaannya tidak berjalan sesuai rencana.

”Pusat akan memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya pada BP kawasan melakukan pengembangan. Jika dalam pelaksanaan ada berseberangan dengan payung hukum pusat, lembaga terkait akan mencari jalan keluar terbaik,” katanya.

Solusi lainnya adalah Pemerintah pusat akan membuat rencana aksi daerah pengembangan kawasan FTZ dan salah satunya menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kawasan FTZ, agar aktivitasnya berjalan maksimal.

Anggota DPR RI yang berasal dari Kepri, Harry Azha Azis mengatakan, ada beberapa kendala yang dihadapi Pemerintah dalam pengembangan FTZ di BBK, pertama, masih tingginya impor bahan baku industri. Kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB Kepri 51,48 persen pada 2008 dan defisit neraca perdagangan 4,7 Miliar Dollar AS pada 2008. Kedua, masih dominannya kapal asing dalam bongkar muat ekspor impor mencapai 95 persen, akibatnya, arus devisa banyak keluar dan merugikan penerimaan negara. Ketiga, belum meratanya konsentrasi industri di wilayah BBK sehinga berpotensi membangun ketimpagan antar wilayah. Keempat, peraturan FTZ tumpang tindih dan banyak regulasi birokrasi mengatur arus barang dan jasa yang justru bertentangan dengan prinsif FTZ. Peluang kolusi antara importir dan Bea dan Cukai, pasar gelap (black market) cenderung berkembang.

Untuk mengoptimalkan FTZ BBK, kata Harry maka permasalahan dan kendala FTZ harus segera diselesaikan. Optimalisasi peran FTZ perlu terus didorong agar cita-cita sebagai pusat poertumbuhan ekonomi regional menjadi kenyataan.

Untuk lebih mengotimalkan peran FTZ BBK maka dibutuhkan kebijakan lanjutan antara lain, Pertama adalah mengembangkan komponen barang-barang modal dengan kemampuan dalam negeri. Daya dukung sumberdaya (endowment) Indonesia sangat besar, sumber daya alam dan manusia. Dalam jangka panjang, efek substitusi (substitution effect) dan efek income (income effect) akan terjadi akibat pengurangan komponen biaya produksi.

Kedua, perlu mengembangkan infrastruktur maritim dengan regulasi pendukung sehingga menunjang pelayaran dalam negeri. Ketiga, Perlu perbaikaninfrastruktur darat dan pelabuhan agar konsentrasi industri di kawasan BBK menyebar. Dukungan pemerintah pusat diperlukan seluruh kawasan FTZ.  Keempat, pemerintah pusat dan daerah harus makin terbuka dan profesional sehingga checklist masalah dan key strategy harus dijelaskan dengan transparan. Regulasi harus konsisten dengan perilaku birokrasi agar tercipta kepastian hukum. (gus).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar